Ku buka kembali halaman buku, sambil sesekali menyiratkan segaris senyum aku perhatikan ke halaman pertama. Duduk sendiri. Kadang aku seperti patung. Terpaku membaca tulisan realistis yang pernah kutulis sebelumnya. Sampai tidak ingin aku peduli pada apa saja. Aku masih membacanya. Senyap menindih luka. Aku mengigil. Dalam lelah apa nilai atas sesuatu pada orang lain.
Kupikir aku dikutuk untuk sakit hati hingga ujung waktu. Tapi hari ini, hari Senin ku merah muda. Spektrum warna yang sudah lama tidak ku jumpai. Rasa lelah hari ini bukan alasan untuk tidur lebih awal. Rasanya ingin segera menuangkan cerita di dalam cerita secepatnya.
Tentang kedatanganmu yang tak terduga. Tentang kebersamaan kita, sesungguhnya sederhana. Apapun yang kamu rasakan dibagikan kepadaku, seolah kamu membuatku merasa aku lah perempuan yang bisa diandalkan. Bahkan saling menaut rasa. Benar-benar memasuki sebuah mimpi bagai sepasang kekasih (semoga ini bukan sandiwara). Wajahku memerah. Rasanya aku mulai jatuh cinta. Tapi aku perempuan yang belakangan ini tak suka membangun mimpi. Kubiarkan semua apa adanya. Bagai waktu, bagai air. Saat juga tiba-tiba menjadi kosong. Tak apa, biar saja. Tetap apa adanya., pun bisa menjadi harapan. Juga hujan yang mulai satu-satu, kubayangakan mengantarkanmu ke arahku untuk berbagi kehangatan.
Apakah ini benar ada pertemuan? Pada Senin ini aku banyak sekali bermimpi tentang kita. Aku dan kamu.
Monday, May 23, 2011
Saturday, May 14, 2011
Segelas Teh Hangat
petang ini senja tak menjingga
di beranda aku duduk berkumpul asa
berteman secangkir teh hangat
Teh hangat pahit kenyataan
denotatum kekosongan
kesunyian di luar kata
secangkir keheningan aku menghirupnya
Secangkir teh pahit hangat ku genggam
memparodikan sepinya malam menjemput salam
Lewat tetesan madu, terkaca bayanganmu tersenyum
Aku turut jua
di beranda aku duduk berkumpul asa
berteman secangkir teh hangat
Teh hangat pahit kenyataan
denotatum kekosongan
kesunyian di luar kata
secangkir keheningan aku menghirupnya
Secangkir teh pahit hangat ku genggam
memparodikan sepinya malam menjemput salam
Lewat tetesan madu, terkaca bayanganmu tersenyum
Aku turut jua
Thursday, May 12, 2011
13 Tahun Melawan Lupa Mei 1998
Jalanan lengang tapi penuh dengan batu dan sampah. Gerbang kampus rusak, ada bangkai motor terbakar di jalanan. Pagi yang mencekam pada bulan Mei 1998. Republik digenangi hujan. Basah oleh air mata dan darah.
Saat itu dimana-mana ada polisi, ada sepatu, tameng, batu, bom asap berterbangan di atas kepala. Mahasiswa demo di jalan. Bentrok antara aparat dan mahasiswa pun tak bisa ditahan lagi. Hingga saat ini pun korban nyawa tidak bisa dipastikan ada berapa.
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan. Mereka adalah pembuat sejarah Peristiwa Trisakti yang begitu mengindonesia. Mereka tewas karena tertembak peluru aparat di dalam kampus Trisakti. Siapa yang lupa kejadian ini, apalagi kamu seorang atau mantan mahasiswa yang membaca tulisan ini.
Mei 1998 kita diadu domba dengan masalah rasis. Begitu banyak warga keturunan cina yang menjadi korban penculikan, pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan. Bisa membayangkan perempuan diperkosa berkali-kali sampai kehilangan nyawanya? Ketika bhineka tunggal ika berada pada titik terendah dalam sejarah nusa. Keturunan cina dibantai dimana-mana. Jadi tidak perlu heran peristiwa tersebut memberi dampak yang mendalam bagi warga etnis Tiong Hoa
Bahkan saat kerisuhan terjadi ada yang ikut masuk ke dalam gedung DPR, sampai di WC terdapat begitu banyak kondom bekas pakai. Mei 1998 harga kondom tak lebih mahal dari nyawa manusia. Dan nyawa manusia juga tidak lebih mahal dari nasi kucing. Berapa banyak yang harus mereka keluarkan untuk menggaji preman bayaran untuk mejalankan kerusuhan tersebut.
Harapan yang coba di bangun pada Mei 1998 dinista dan dihancurkan! Memecah Indonesia, membumihanguskan Timor – Leste setahun kemudian. Mei 1998 adalah jalan pintas menuju Indonesia keraguan. Setelah lepas dari kediktatoran yang biadap.
Saat itu dimana-mana ada polisi, ada sepatu, tameng, batu, bom asap berterbangan di atas kepala. Mahasiswa demo di jalan. Bentrok antara aparat dan mahasiswa pun tak bisa ditahan lagi. Hingga saat ini pun korban nyawa tidak bisa dipastikan ada berapa.
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan. Mereka adalah pembuat sejarah Peristiwa Trisakti yang begitu mengindonesia. Mereka tewas karena tertembak peluru aparat di dalam kampus Trisakti. Siapa yang lupa kejadian ini, apalagi kamu seorang atau mantan mahasiswa yang membaca tulisan ini.
Mei 1998 kita diadu domba dengan masalah rasis. Begitu banyak warga keturunan cina yang menjadi korban penculikan, pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan. Bisa membayangkan perempuan diperkosa berkali-kali sampai kehilangan nyawanya? Ketika bhineka tunggal ika berada pada titik terendah dalam sejarah nusa. Keturunan cina dibantai dimana-mana. Jadi tidak perlu heran peristiwa tersebut memberi dampak yang mendalam bagi warga etnis Tiong Hoa
Bahkan saat kerisuhan terjadi ada yang ikut masuk ke dalam gedung DPR, sampai di WC terdapat begitu banyak kondom bekas pakai. Mei 1998 harga kondom tak lebih mahal dari nyawa manusia. Dan nyawa manusia juga tidak lebih mahal dari nasi kucing. Berapa banyak yang harus mereka keluarkan untuk menggaji preman bayaran untuk mejalankan kerusuhan tersebut.
Harapan yang coba di bangun pada Mei 1998 dinista dan dihancurkan! Memecah Indonesia, membumihanguskan Timor – Leste setahun kemudian. Mei 1998 adalah jalan pintas menuju Indonesia keraguan. Setelah lepas dari kediktatoran yang biadap.
Subscribe to:
Posts (Atom)