Tuesday, August 16, 2011

Dikejar Deathline

Aku menulis dengan bahagia, tanpa target tanpa upah. Semua ku lakukan hanya untuk memenuhi kenikmatan yang sederhana. Seperti sekarang, sebenarnya aku tak ada bekal untuk menulis. Aku mandul ide. Entah mengapa jariku ingin saja menari dengan suka cita diatas keyboard setengah tua ini. Berbekal secangkir teh hangat dan ubi bakar madu yang…ah, bisa menghasilkan perpaduan yang pas. Sepat rasa tehku ini diimbangi dengan rasa ubi madu. Manis, semanis memori yang terbesit seketika. Hahaha lagi-lagi kenangan. Ya, karena aku masih susah untuk berdamai dengan masa lalu segala apapun yang manis lewat dengan jalangnya dipikiranku. Well, setidaknya aku sudah berdamai dengan malam, sahabatku yang setia menemaniku dalam kondisi apapun. Semoga saja dia tak pernah bosan sebab dia ku jamu dengan jutaan doa.

Intermezzo yang rasanya seperti nasi hari kemarin. Kering dan basi, baunya pun keliwat kecut. Loh, kenapa jadi serius seperti ini ya, seperti sedang dikejar deathline kerja kantoran saja. Tapi yang aku rasakan kali ini benar-benar sedang dikejar deathline. Dikejar kematian. Kematian ide-ide yang tak pernah diasah. Kematian isi kepala yang terjangkit virus kemalasan. Padahal akhir-akhir ini aku beralih profesi menjadi penanti pagi. Bermodalkan selimut sepi, aku terjaga dengan kihmadnya. Selama masa peralihan dari malam-dinihari-pagi, aku duduk di sofa empuk. Sofa yang nyaman, lebih nyaman dari orang-orang baru yang bertamu di rumahku. Saat itu aku sering berjumpa dengan waktu, ingin rasanya aku menyapa nya dan menyuruhnya untuk singgah sebentar bersamaku bersama secangkir teh hangat sekedar berbagi tentang pengalamannya selama ini. Kedengarannya menarik bukan? Sayangnya dia terlalu sibuk berjalan menuju masa depan. Padahal aku juga ingin mengenalkannya pada penantian sekaligus kenangan. Lain kali aku yakin bisa bercengkrama dengannya. Karena aku adalah penggemar berat sang waktu.

Seharusnya menjadi penanti pagi lebih bisa melahirkan anak-anak baru untuk di mainkan di buku harian digital ini. Tapi, aku lebih banyak mendapati diriku yang seperti kapas, lemas. Pada dini hari aku terjebak dalam dentingan melodi. Aku luluh, aku lunglai. Sering kujumpai diriku yang lebih ambigu dari sekedar kata rancu. Lebih sakau dari pengobat yang kehabisan barang. Sembari sesekali aku menengok ke kanan ada yang sedang menanggung harapan, disebelah kiriku ada yang sedang menanggung beban. Tepat di depan ku ada cermin besar, dan di sana aku menjumpai aku yang sedang menanggung malu. Fiktif, menanti damai bagai dongeng anak kecil. Menandai setiap jejak dengan mimpi. Bercerita, bermain dengan khayal tak nyata. Bergulat dengan cuaca yang seolah-olah mendukung sepi. Berjaga menanti harap segera datang tak terduga. Mengintip setiap ketukan sepatu yang terdengar. Kenyataanya, tak ada yang berubah dari tempat dimana aku duduk menanti pagi. Semua tampak sama dalam kesusahan mencari kedamaian.

No comments:

Post a Comment