Minggu sore aku mengunjungi rumah-Nya. Seperti biasa, aku datang berbekal sekantong harapan. Dengan jiwa kelam, aku menyebutnya berkah. Perjamuan telah dimulai kira-kira 10 menit yang lalu, aku terlambat. Aku duduk di kursi depan mendekati altar. Seperti sungai aku mengalir mengikuti adegan demi adegan yang telah dijadwalkan. Yang aku rasakan, aku menemui ruang kosong di tengah-tengah lagu puji-pujian yang sedang berdendang. Mengikuti alunan, aku berduet dengan Tuhan.
Menengok ke sebelah kiri, aku melihat seorang gadis mungil, kira-kira berusia 6 tahun. Dia tidak menghadap ke altar. Dia menghadap ke belakang duduk di bawah dan memejakan kursi yang biasanya untuk duduk dia mengubahnya sebagai tempat meletakan buku gambar dan ke 12 pensil warnanya. Aku menatap kagum, anak sekecil itu memiliki 12 warna sedangkan aku perempuan semi apatis hanya mampu melihat 2 warna selama bertemu semesta. Hitam dan putih, dan aku berada diantara keduanya, abu-abu.
Namanya Agnes, gadis berambut bob ini ternyata dia seorang hiperaktif. Laki-laki setengah baya yang duduk disebelahnya memberitahuku, dia ayahnya. Ayahnya memberitahu bahwa dia tidak bisa diam, selalu saja bergerak, dan mewarnai buku gambar adalah kegemarannya. Agnes menyapaku dengan ramah.
Agnes : “Mbak namanya siapa? Aku Agnes” senyuman lugu tersirat ketika dia menanyakan ini padaku
Aku : “Hei Agnes, aku Herina. Kamu lagi ngapain? Mbak boleh lihat?” aku berusaha mengeluarkan senyum teramahku pada saat itu.
Agnes : “Aku lagi mewarnai gambar. Mbak suka warna apa? Biar baju ini aku warnai pakai warna kesukaan mbak herina.”
Aku : “Agnes pintar sekali mewarnainya. Oh iya, mbak suka warna merah. Coba baju yang itu diwarnai dengan warna merah ya.”
Agnes :”Oke mbak, ini warna merah buat mbak herina. Biar kelihatan cantik diantara warna hitam dan putih ya.”
Sementara gadis disebelahku sibuk dengan gambarnya, aku menatap sayu ke meja yang kudus. Sesekali aku mencuri hasil warna milik Agnes. Dan hasilnya memang cantik. Ada warna merah diantara hitam dan putih. Aku kemana saja selama ini. Hanya mendominasi kedua warna tersebut.
Seperti biasa, aku selalu meninggalkan gereja paling akhir. Bedanya, kali ini aku tidak sendirian. Ada Agnes dan ayahnya disampingku. Kami bertiga sama-sama merendahkan diri berpasrah padanya untuk mengadu segala keluh kesah pada-Nya.
Dengan mata terpejam dan penuh kihmad. Kami memohon perwujudan pribadi. Dan Agnes yang entah tidak bisa meminta dalam hati atau mungkin memang begitu caranya berkomunikasi dengan-Nya. Aku mendengar segala doa yang terucap dari bibir tipis gadis bermata sipit itu. kira-kira begini isi doanya
“Tuhan, terima kasih aku masih boleh mewarnai gambar-gambarku di rumah-Mu. Semoga akan terus begini. Jaga ibu yang di surga ya, jaga ayahku juga biar bisa terus jalan-jalan sama aku. Tuhan, terima kasih untuk teman baru yang kutemui di rumah-Mu. Berkati Mbak Herina Tuhan, warnai hidupnya, sama seperti aku mewarnai gambarku dengan pensil warnaku. Da da, sampai ketemu minggu depan.”
Aku masih memenjamkan mata, tidak berkata dalam hati. Aku belum sama sekali menyampaikan wujud pribadiku. Aku hanya mendengar doa dari gadis polos disebelahku. Agnes keluar terlebih dahulu, dia sengaja tidak pamit karna tahu aku masih berdoa. Begitu kira-kira isi pikirannya. Sekarang tinggal aku sendiri. Ada gejolak luar biasa, dan aku setengah tidak percaya dengan doa singkat yang tercipta dari gadis manis tsb. Aku meneteskan air mata, dan aku hanya mampu mengeluarkan kata AMIN setelah sekian lama hening dan menatap nanar kehidupanku kebelakang.
No comments:
Post a Comment