Entah kemarin ada apa, aku mandul akan aksara. Disetubuhi rasa malas tiap malam. Segelas inspirasi tak juga kutemui. Pun dengan imajinasi yang makin kaku seperti rambut anak-anak punk yang diberi lem kayu. Rasanya aneh, tumpukan buku dan novel hasil barter pun tak kunjung ku telan. Padahal aku tau aku sedang lapar, tapi mual. Begitu banyak isi kepala yang ingin keluar dan aku bingung harus memulainya darimana, dariapa dan bagaimana. Bahkan aku juga lupa bagaimana cara menulis yang baik, yang tidak membosankan. Cukup diriku saja yang membosankan, tulisan ini jangan. Karena hanya dengan media seperti ini aku bisa mencuri perhatian banyak orang, salah satunya kamu. Iya. Kamu yang sedang membaca tulisan yang keluar dari otak butut ini.
Awalnya kupikir aku akan menjadi seorang yang introvert. Karena aku selalu memilih untuk diam daripada menceritakan ceritaku. Alasannya cuma satu, aku takut. Aku takut ceritaku terdengar membosankan di telinga pendengar. Tapi yang lebih menakutkan lagi, aku takut hanya ada kata sabar yang keluar dari mulut pendengar. Walau sejujurnya aku kan merasa jauh lebih ringan setelah membagi cerita-cerita itu. aku adalah sebuah toko yang menjual rasa kepercayaan dengan harga yang paling mahal. atau bahkan tidak menjual souvenir dengan merk percaya itu. ku pikir brand terkenal di dunia masih kalah mahal dengan percaya yang kujual di toko ku ini.
Ini adalah anak pertama ku di bulan terakhir pada ujung tahun 2011. Desember. Bukan bulan ulang tahunku, tetapi selalu yang kutunggu. Dimana aku pertama kali mengenal apa itu setia, suka, duka dan kuburan luka yang lupa pernah menganga. Bahkan Efek Rumah Kaca, trio jenius, juga punya sepotong lirik yang nikmatnya sama dengan sepotong strawberry cake yang kutemui di kota kembang beberapa waktu lalu. Begini katanya, “menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda … aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember…” sejak pertama kali telingaku mengenal lagu ini sampe sekarang, pun saat jari-jariku menari diatas keyboard, selalu ada yang keluar dari mataku. Aku lebih suka menyebutnya air terjun. Ya, ada air terjun yang begitu deras seiring diputarnya lagu tsb. Ku pikir Cholil terlalu melankolia saat menulis lirik itu. atau mungkin hanya sekedar sugesti dari cerita lalu yang pernah terjadi. Bisa jadi aku terjebak suram yang makin kelam makin tertuju pada kebahagiaan. Yeah, setengah perjalanan bulan ini sudah lewat dengan kilat. Dan aku? Aku masih gini-gini aja menjalani hidup. Dengan ego yang tak penah bijak, dengan dahan kepala yang rapuh, dengan ranting yang lapuk, dengan hati yang tertutup abu. Dan dengan orgasme otak yang semakin kadang-kadang-aja.
Hahahaha aku memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan hujan-hujanan, makan es krim, minum teh, memburu berbagai makanan daripada menulis tentang perasaan. Oh iya, aku juga sedang berjalan menuju ruang terang, rasanya seperti ada yang menuntunku, walau aku juga masih ragu.
No comments:
Post a Comment