Sebenarnya aku tidak mau menulis tentang ini di diari digital. Selain malu aku juga takut dicap sebagai anak durhaka. Tapi, aku juga tidak tau harus cerita kemana. mungkin ini yang namanya kesabaran ada batasnya. Ini tulisan tentang bapakku. Yang menurut kamusku arti kata bapak adalah tembok raksasa yang menutup ruang gerak kreativitasku atau sinonim yang tepat adalah pembunuh kreativitas dalam kebebasan berpendapat. Bukan masalah larangan pulang lebih dari jam 10 malam. Tapi ini lebih ke kepercayaan yang tak kunjung ku dapat. Aku, gadis 20 tahun yang diperlakukan seperti anak kecil berumur 12 tahun.
Seharusnya bapakku itu bersyukur, punya anak gadis manis taat aturan seperti ku. Minta-minta yang berlebihan pun tak pernah kulakukan. Kalau memang didikan militer seperti ini, keras dan otoriter, brarti aku salah satu manusia yang rugi telah dilahirkan ke dunia. Dari kecil, dari sebelum aku tau bagaimana cara membaca apalagi menulis, dari sebelum kenal bangku sekolah, aku sudah sering mendengar omongan-omongan keras yang keluar dari mulut bapak. Sampe sekarang, sudah mahasiswi tingkat tengah masih sering aku mendengar kalimat yang seharusnya tak pernah ku dengar lewat telingaku ini. Hari ini malam natal, malam penuh kedamaian katanya. Tapi aku kok ngga merasakan kedamaian itu di sini di keluarga ini. Keluarga ku baik-baik saja. Cuma aku yang kurang suka dengan cara bapak berbicara. kata-kata kasar yang seharusnya tak layak dilontarkan oleh seorang bapak sering aku menjumpainya, sampai aku kebal dan apatis terhadap bapakku sendiri. Aku memang terlihat baik-baik saja di depannya. Kalau memang cara didikan dia seperti itu, seharusnya dia juga tau sudah menanam apa di diriku ini. Maaf, aku sama sekali tidak respek sama bapakku sendiri. Dan maaf, telingaku tuli dengan nasihat-nasihat standart kalian yang sebagian besar berkomentar kalau bapak ku itu benar dan ini cuma sekedar kenakalan remajaku saja. Hey, sebentar! Apa aku pernah nakal? Aku, anak gadis yang taat aturan. Bandel sedikit kupikir lumrah.
Dengan begini bagaimana bisa bapakku mendapat respon yang baik dari anaknya sendiri jika telingaku masih sering mendengar kata yang seharusnya tak penah ku dengar. Biaya sekolah, tempat tinggal geratis dan segala fasilitas yang menunjang keseharianku. Aku tak penah meminta ini semua. Bukankah ini sudah menjadi kewajiban seorang bapak,salah sendiri membuahi sel telur ibu ku dan menjadikanku seperti ini. Bapakku hanya kurang beruntung mendidik gadis manis nya seperti itu. Tuhan, apa aku boleh tidak suka dengan bapakku?
Maaf mbak, gak sengaja search mengenai sikap seorang bapak ketemu tulisan mbak. Sama seperti bapakku. Sampai-sampai aku takut jika bapakku berbincang dengan temanku
ReplyDelete