Aku bingung, saat menulis ini harus bersuka atau berduka. Ah sudahlah, aku cuma diberi mandat untuk memberi hadiah ulang tahun untuk Mas Ian yang sekarang sedang berada di negeri seberang.
29 tahun sudah sosokmu mempengaruhi orang-orang sekitarmu
Dan setiap lakumu telah membentuk karaktermu
Dan tiap langkahmu telah membawamu mendekat dan menjauhi cita-citamu
Briliant Adhi Prabowo
Nama yang agung. Se-agung pembawaan karakteristik yang kutau
Bertanggung jawab pada tiap tarikan nafas yang kau hirup
Yang kelak sebagai patokan tempat mana yang layak kau tempati di alam yang abadi.
Briliant Adhi Prabowo
Selamat Ulang Tahun
Semoga Tuhan Yesus Kristus meng-Amin-I segala doa yang masuk pada tanggal 22 Februari 2012 ini
Doa-doa segar dari hati bak taman penuh mawar
Doa-doa tulus dari bibir-bibir mulus
Doa-doa cantik dari jemari lentik
Doa yang selalu membuatmu merasa dekat walau terpisah oleh jarak berkumpul jadi satu
Semoga langkahmu semakin matang dan selalu membawamu ke arah yang lebih baik
-AMIN-
Tuesday, February 21, 2012
Friday, February 17, 2012
Kacamata

Yang aku tau aku butuh alat bantu berupa kacamata minus untuk membantu penglihatanku. Sejak lulus SMA mulai bersahabat dengan kacamata. Tanpa alat bantu tersebut duniaku blur. Jarak pandangku hanya beberapa meter saja. Dan aku makin tak peduli dengan kesehatan mata. Aku cuma paham, kacamata sudah cukup membantu untuk memperjelas segalanya.
Awal memakai kacamata ibu dan bapak selalu mengkhawatirkan kesehatan mataku. Membaca sambil tidur, terlalu lama di depan monitor, mainan ponsel sampai merasa bosan. Aku dipantau. Dan itu menyebalkan. Hampir setiap pagi ada jus wortel yang dikombinasi dengan sedikit tomat tanpa gula yang harus kuminum. Aku suka sayur, tapi entah kenapa aku ngga begitu suka dengan rasa wortel yang di jus. Getir. Kubiarkan. Dan ibu mulai kesal dengan tak ada lagi jus wortel di pagiku.
Belakangan ini, aku mulai berpikiran untuk menanggalkan kacamata. Kemarin saat berpergian aku sengaja ngga pakai kacamata. mata dengan kantung mata yang berkantung-kantung ini kubiarkan telanjang. Dan aku suka berjalan dengan pandanganku yang kabur. Aku tau bagaimana kenikmatan melihat segala sesuatu di sekitarku buram. Orang-orang, jalan, tulisan-tulisan, semuanya.
Dengan pandangan seperti ini aku tak perlu tau kejelasan wajah-wajah fake disekitarku. Aku tak perlu tau ada yang sedang memandangku sebelah mata. Aku tak perlu minder jika bertemu banyak orang. Ya, karna aku tak bisa melihat jelas wajah-wajah sinis mereka.
Dengan penglihatanku yang buram tanpa kacamata ini, aku tak perlu kesusahan mencari wajah-wajah rupawan untuk menebar pesona. Tidak perlu merasa rugi karna aku tak bisa cuci mata dengan laki-laki manapun.
Jadi, dengan penglihatanku yang cacat ini, aku bisa terus setia denganmu kan, lelakiku?
Thursday, February 16, 2012
Tak Butuh Penenang

Aku suka kurang paham dengan beberapa potong kalimat menenangkan. Entah, ini mataku yang makin minus yang membuat aku tak bisa menelaah lebih jauh kalimat-kalimat tersebut atau memang kalimat tersebut sama sekali tidak menenangkan bagiku.
“You’ll never walk alone”. Kamu tidak pernah berjalan sendirian. Kata siapa? Aku yang memilih untuk berhenti dan kemudian berjalan, karna berlari membuat seluruh tenagaku terkuras bahkan membuatku sakit. Tidak ada yang perlu dikejar dan tidak ada yang mengejar. Toh, pada kenyataanya aku sendirian. Benar-benar sendirian. Professional Loner.
“Happiness only real when shared” Jika aku membagi kebahagiaanku, apa iya orang sekitarku ikut bahagia? Jika aku menceritakan sesuatu yang menyenangkan? Aku tak yakin itu. Bahagia itu sederhana. Aku lebih suka kata itu. karna bahagiaku belum tentu bahagiamu. Sesederhana itu.
“All we need is just a little patience” ini kalimat terklasik yang sering kubaca. Naïfnya, aku tak begitu menghiraukannya namun selalu terpatri di kepalaku. Ya, karna sebenarnya aku tak butuh sedikit kesabaran, namun banyak. Aku butuh tumpukan sabar untuk terus bisa memetik buah dari pohon kehidupan yang kutanam dengan bibit sabar.
Masih banyak sebenarnya. Yang terlintas hanya beberapa. Oh iya, aku tidak gila lho. Belum gila saja lebih tepatnya. Udah ah, minum es teh dan makan biskuit coklat saja. Siang ini terlalu gerah untuk meneruskan tulisan ini.
Wednesday, February 15, 2012
Diusir Satpam
Aku penah bilang sama seorang teman, bagiku menulis itu sebuah terapi. Apa saja, entah tulisan tentang patah hati, naksir senior kampus yang ngga kesampean, dingin sama orang yang bilang sayang, kadang juga kertasku kusiksa dengan puisi-puisi rindu yang mendebu. Kali ini, aku mau bercerita tentang satpam yang mengusirku di toko buku.
Kan aku didrop temenku di Gramedia Pandanaran. Temanku itu mau ke rumah sakit Telogorejo. Dia ada urusan. Seperti biasa, aku tak pernah canggung sendiri di suatu tempat, apalagi bisa dibilang aku sedang di tempat biasa aku menginvestasi isi kepala. Aku ambil satu buku bacaan, kemudian kubaca. Ngga perlu basa-basi, aku segera menempelkan pantatku pada lantai. Kujepit poniku agar tak mengganggu pandanganku. Duduk dan melahap bacaan hampir setengah dari buku itu.
Tiba-tiba.........
"mbak..mbak.. maaf jangan duduk di lantai. Kalau mau baca di sini berdiri saja. Kalau mau sambil duduk di rumah aja"
Senyum paling hangat ku lempar pada pria berusia sekitar 27an itu. Berseragam biru dongker. Gagah dan sok galak dengan membawa pentungan. Untung tadi lagi kalem-kalemnya jadi perempuan. Jadi omongan pedas tak keluar dari mulutku. Dan ini pertama kalinya ditegur satpam. Lumayan, sepertinya mulutnya perlu ditatar sedikit agar enak masuk kuping kanan dan kiri.
Ritual gelesotan sambil baca buku geratisan dipantau satpam dari jauh. Ngeri.. hiiiii
Kan aku didrop temenku di Gramedia Pandanaran. Temanku itu mau ke rumah sakit Telogorejo. Dia ada urusan. Seperti biasa, aku tak pernah canggung sendiri di suatu tempat, apalagi bisa dibilang aku sedang di tempat biasa aku menginvestasi isi kepala. Aku ambil satu buku bacaan, kemudian kubaca. Ngga perlu basa-basi, aku segera menempelkan pantatku pada lantai. Kujepit poniku agar tak mengganggu pandanganku. Duduk dan melahap bacaan hampir setengah dari buku itu.
Tiba-tiba.........
"mbak..mbak.. maaf jangan duduk di lantai. Kalau mau baca di sini berdiri saja. Kalau mau sambil duduk di rumah aja"
Senyum paling hangat ku lempar pada pria berusia sekitar 27an itu. Berseragam biru dongker. Gagah dan sok galak dengan membawa pentungan. Untung tadi lagi kalem-kalemnya jadi perempuan. Jadi omongan pedas tak keluar dari mulutku. Dan ini pertama kalinya ditegur satpam. Lumayan, sepertinya mulutnya perlu ditatar sedikit agar enak masuk kuping kanan dan kiri.
Ritual gelesotan sambil baca buku geratisan dipantau satpam dari jauh. Ngeri.. hiiiii
Sunday, February 5, 2012
Monologue

Belakangan ini aku seperti pegawai yang baru saja kena PHK. Bisa tiba-tiba menangis karna hal kurang berbobot. Sering sensitif seperti perempuan datang bulan di hari pertama. Masalah sepele menjadi saja dipikir bertele-tele. kalian harus tau, hal sepele itu datang dengan rutin. Mereka seperti siang dan malam. Seolah-olah sudah terjadual dengan rapih. Kemudian aku berpikir, mungkin Tuhan tengah mengatur ulang kegiatan kebahagiaanku. Dan aku lagi-lagi harus lebih bersabar(lagi)
"Cengeng!"
"Apasih?"
"Mimpi mu ketinggian, Her! Tulisanmu membosankan tau ga sih! Terlalu menye-menye!"
"Menye gimana? Tragis gitu maksutnya?"
"Tulisan-tulisanmu kuperhatikan menderita melulu. Hidupmu kayak ngga pernah bahagia sedikitpun. Sepele! Aku juga bisa menulis seperti itu. Mendramatisir keadaan lalu mempost tulisanku."
"Iya? Aku pengen tau tulisan menarikmu."
"Aku bikin teh anget dulu"
"Iya, teh hangat memang segelas kesenangan. Ada baiknya kamu buat dua gelas. Kita reguk bersama"
"Hahaha...!! Apa kesenangan yang kamu reguk? Kamu selalu bilang begitu. Tapi apa? Hasil orgasmemu cerita yang ngga masuk akal kan? Mana letak bahagia yang telah habis kamu minum itu?"
"Sebentar, aku mau menyalakan lagu yang membuatku menunduk ke sepatu dan bisa menerangkan dimana letak kebahagiaanku"
"Bahkan lagu yang kau putar selalu berhasil menyeret ke lembah yang paling kelam sekalipun. Bahagia dimana sih? Sakit kamu!"
"Bentar. Brengsek!"
"Yaelah, Her. Kok jadi nyolot sih. Ini kan cuma diskusi biasa. Malah ngatain aku brengsek."
"Dari awal kamu nyolot, nyudutin aku terus. Sadar ngga?"
"Itu kan cuma ekspresi. Teriak biasa. Ngga nyolotin kamu. Sadar ngga sih daritadi kamu ngga bisa diajak diskusi? lonca kesana kemari. Dari tulisan, lari ke teh hangat. Dari teh hangat lari ke lagu yang kamu putar."
"Aaaaaaaaaah. Brengsek!"
"Aku mau berdiskusi tentang tulisanmu. Cerita kamu. Debat awal kita. Cerita kamu selalu kesepian. Yang selalu takut dengan kamu yang terlalu mandiri. Yang kamu sekarang sedang diperbaiki. Kamu yang apatis. Makanya aku bilang ngga masuk akal! Kalau memang mau bercerita tentang diri sendiri ngapain boong? Nulis fiksi pake kebenaran. Dan kamu mau sampai kapan memilih untuk ketagihan luka agar terus bisa menulis? Tolol!"
Aku lesu. Dan memperhatikan obrolan itu dengan senyum sembari mengabaikan teh hangatku yang mulai mendingin. Dan laguku terus mengalun. Dan aku sedang duduk di depan cermin lemariku.
Lipstik Lipsing - If Only We Could Choose Our Own Happiness
Saturday, February 4, 2012
Sulawesi Utara

Ini tentang liburan singkat. Tentang tempat yang didominasi warna hijau pekat. Tentang mengusir penat. Tentang tempat yang bernama Minahasa Utara :)
Sebulan lamanya kurang lebih aku angkat kaki dari Semarang. Koper ku seret dengan riang. Aku terbang melintasi pulau dengan hati senang. Aku Liburan, sayang!
Jariku menari indah di atas papan komputer penuh debu. Sampai-sampai mau memulai cerita darimana saja aku tak tau. Ah, belagu! Tinggal mengetik dari awal pemberangkatan, kan seharusnya memang begitu.
Waktu itu ada yang menari-nari dibenakku. Ada puncak suka. Ketika bapak dan ibu mengijinkanku boleh berlibur ke tempat kakakku tercinta. Aku bergegas membuka internet, untuk mencari promo tiket.
5 Januari aku berangkat. Dari Juanda aku menunggu pesawat dengan mata semakin memberat sambil menggenggam ponsel dan menunggu pesan singkat. Sederhana, hanya menunggu balasan dari orangtua yang pesannya tak kunjung ku dapat.
Arlojiku memberitahuku ini sudah pukul 01:05 Waktu Indonesia Bagian Samratulangi.Oh ternyata Manado seperti ini, kataku dalam hati. Rasanya seperti mimpi. Bahkan aku disambut angin segar yang menyibakkan rambutku yang tak berponi.
Selama perjalanan menuju rumah kakakku. Segalanya indah yang ditangkap oleh lensa mataku. Demi memecah keheningan itu, dengan rasa ingin tahu yang menggebu aku menanyakan apa ini itu. Tanpa malu-malu, tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Aku melihat sekeliling penuh pepohonan nan rimbun. Apalagi di dalam musik suasana dibungkus oleh musik tradisional daerah mengalun. Aku tertegun dengan Ciptaan-Nya yang sangat anggun.
Sampai dirumah. Aku disambut dengan ramah. Pemandangan yang sangat indah. Rumah yang berlokasi tepat di bawah bukit kaki dian. Tuhan, lukisanMu sangat mewah.
Udara yang segar. Pemandangan yang luar biasa indahnya membuat mataku berbinar-binar. Senyum rimbun senantiasa ku tebar. Membuat sirna sudah nanar di depan mataku yang terbentang lebar.
Tuhan, terimakasih atas segala kebahagian kemarin. Ini lebih dari cukup. Aku suka Januari-Mu! :)
Thursday, February 2, 2012
Hidup itu Simpel. Aku Sendiri yang Rumit

sama seperti yang pernah kubilang "hidup itu simpel. Takut kehilangan itu ribet. Dan tidak mengusahakan apa-apa itu tolol"
Aku tau, aku tak mau terlihat lemah di depan Tuhan. Bahkan untuk menangisi drama kehidupanku sendiri pun aku malu jika Ia melihatku. Tapi, lagi-lagi berpikir bahwa Tuhan terlalu baik untuk berpikir se-negatif pikiranku.
ya, aku tau kita semua boleh menangis dan meratapi diri sendiri. Tapi ya jangan terlalu lama. Jangan sampai Tuhan bosen dengan kita.
seorang teman pernah bilang gini "dek, kamu tu sedih, seneng, bahagia atau lagi punya masalah ngga pernah kelihatan. Ekspresimu datar."
Emang iya ya? Aku sendiri ngga pernah tau bagaimana mengekspresikan sesuatu. Banyak yang bilang aku galau akut, kebanyakan orang bilang gitu gara-gara tulisanku. Sampai-sampai diberi saran untuk membukukan tulisan-tulisan galau itu. Tapi, kalau ketemu ternyata biasa aja, ngga se-galau tulisannya. Ya, aku tau sih tiap orang punya subjektivitas masing-masing, yang jelas dengan adanya subjektivitas tersebut membuat suatu objek terlihat lebih warna-warni.
Ada yang bilang juga aku terlalu apatis dengan sekitar. Padahal aku suka mengingat sesuatu yang kebanyakan tak diingat orang lain. Sekecil apapun itu. Aku sih cuma beranggapan bahwa yang bilang gitu orang lupa bahwa mataku adalah pengibadah yang baik di setiap hidup orang lain yang maha luas. Karna yang aku tau, aku mampu mengenali orang lain dengan baik tentu saja dengan caraku sendiri, meski aku tak penah dikenal sekalipun.
Malam ini, aku rindu aku yang produktiv dalam menulis, walaupun kebanyak tentang hidup yang selalu ku pandang sinis. Iya, mungkin yang dinamakan pendewasaan itu seperti ini. Aku yang terlalu mengkawatirkan diriku sendiri aja sih, yang takut tak bisa merelakan yang seharusnya direlakan. Toh, serumit apapun itu, aku akan baik-baik saja pada akhirnya.
Ah, sadar kan sekarang kalau aku sering membatasi diri dan selalu sengaja membuat hal itu ribet.
Subscribe to:
Posts (Atom)