Saturday, April 16, 2011

Rumah Pada Musim Tak Bernama

Langit dan Bumi membentuk jarak. Malam dan siang bertemu di tanah batas, menukar warna. Biru, abu, putih dan hitam. Di beranda, melamun, asap, kabut, cahaya bulan, segelas teh hangat, mendoan kecap pedas dan sampah dapur.
Di bumi manusia bagai kisah: malam dan siang, gelap dan terang, hitam dan putih, lelaki dan perempuan kemudian tua dan muda.
Dan aku adalah perempuan muda yang menemukan rumah, lorong tanpa ujung. Sesuatu yang maharahasia. Hingga malam hari atau pagi mendatang setelah terjaga semalaman aku selalu menemukan sensasi hidup kembali di hari yang baru dari perjalanan yang luar biasa jauhnya. Tanpa batas. Lambat laun aku memberi namanya mimpi.
Sepanjang malam hari Selasa aku melamun. Hingga datanglah seorang kawan lama menawarkan kehidupan untukku. Aku bertemu dalam cinta semalam. Melihat bintang diam-diam muncul dari kaca jendela.
Pagi-pagi sekali kawanku itu pamit pulang. Semuanya sampai di situ saja. Ia pergi, entah kapan akan kembali. Entah kembali atau tidak akan pernah datang lagi. Aku tidak pernah tahu. Namun, bagiku aku harus menjalani hariku dengan penuh suka cita, seperti kandungan polifenol yang memebuatku kecanduan untuk terus menenggak teh hangat.
Tiba pada musim itu terlalu banyak peristiwa yang berlalu.
Banyak pelancong kepedihan yang datang. Mereka datang lengkap dengan kamera dengan lensa canggih yang juga mahal untuk mengabadikan penderitaanku.
Sepanjang malam udara kamar terasa panas. Aku melihat ibu tampak gelisah sambil sesekali memberikan lembaran tisu guna memetik air mataku. Namun, aku selalu berusaha menenangkan hatinya bahwa aku baik-baik saja, sembari terus meneliti jendela. Dan aku tertelan malam!
Dari jendela kamar aku melihat 2 sosok bayangan. Satu bayangan lelaki basah keringat dan perempuan berwajah pucat. Tidak salah lagi! Itu Wisnu, kawan yang membuatku jatuh cinta dan setia menunggu ia pulang menemuiku. Tapi, siapakah perempuan berwajah pucat dengan muka seperti gadis masih SMA.
Wisnu memang datang menepati janjinya. Ia datang lengkap dengan perempuannya. Perempuannya? Iya perempuan berwajah pucat dengan muka lebih cocok menjadi adiknya itu adalah perempuannya. Hampir 5 bulan dari bulan Oktober lalu aku menunggu ia pulang. Kali ini ia pulang memperkenalkan pacar barunya.
Aku menatap bayang-bayang pohon yang tiga kali lipat lebih besar dari badanku. Aku berteduh dalam bayang-bayang itu. Rumah itu! Ya. Seolah aku menemukan rumah baru. Aku menyerahkan tubuhku yang mulai terasa lelah. Sebelum tertidur aku bergumam, “biarkan aku menemukan rumahku sendiri. Selamat jalan cintaku, pergilah.”
Aku tahu di ujung harinya dia masih menungguku, tapi aku lebih memilih jalan lain. Perjalanan yang mungkin masih jauh. Sejauh masa lalu yang pelan-pelan pasti menguburku. Aku pergi dari masa laluku, menuju rumah pada musim lain; musim bunga. Karena aku perempuan.

Friday, April 15, 2011

Kematian yang Sexy

Bagi pelaku bom bunuh diri ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannya sendiri. hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa harus tergesa-gesa. Ia menyisir rambutnya, mengoles minyak rambut agar terlihat klimis. mencukur kumis nya dan memakai kopyah putih sebagai penutup kepala. Tampak berbeda di hari Jumat ini. Sarungnya pun baru, sedikit deodoran dioleskan pada ketiaknya. Dengan pelan ia menggosok pangkal deodoran itu. Tujuannya cuma satu, ia tak ingin wangi yang berlebihan. Ini akan menjadi kematian yang menggembirakan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung bisa menikmati sisa hidupnya seperti ini. Tak perlu repot-repot mempersiapkan tali dan menggantung diri. Tak perlu berdiri diatas rel saat penguasa rel itu melaju dengan ganasnya. Tak perlu menabrakan dirinya pada mobil mewah yang berlalu-lalang di atas aspal. Dan ia tak perlu dokter ahli forensik untuk memeriksa mayatnya setelah ia mati nanti. Ia tak perlu mati lantaran usia tua atau penyakit kritis yang menyiksa bertahun-tahun lamanya.
Tinggal menyiapkan bom yang sudah dirakit jauh-jauh hari dan meledakannya di tempat ibadah yang penuh umat. Kemudian membiarkan maut bersejingkat mendekatinya perlahan.
Tepat akan dilaksanakan ibadah sholat Jumat, bom itu meledak dengan sadisnya. Baginya ledakan bom itu adalah jalan menuju surga. Atas dasar menuhankan atasannya ia percaya akan diterima di surga. Surga baginya Neraka bagi kita. Tapi menurutnya, kematian seperti ini adalah kematian ter-sexy yang bisa dirancang sendiri dan melambungkan namanya.
Ingin sekali kutanyakan padanya. Atas dasar apa kematian seperti itu mendapatkan surga.

Wednesday, April 6, 2011

Kotak Kebahagiaan

Hujan tak kunjung reda. Aroma tanah yang menghibur indra penciumanku lambat laun mulai menghilang, menguap ke udara. Selokan samping rumah kini berubah menjadi kolam renang mini dadakan. Seiring tetes air yang datang keroyokan, aku hanya diam melihat keluar melalui celah jendela.

Pagi ini basah. Batarasurya, sepertinya hari ini lebih memilih untuk bersembunyi. Langit yang sendu membirukan ruanganku. Ayam-ayam menggeliat bosan dalam kandangnya terkurung etalase sepetak triplek sepanjang rumah ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu pelanggan dan sentuhan. Pedagang bubur ayam tersenyum sengit karena buburnya hari ini laku sedikit. Bahkan aku bisa melihat tawanya yang ungu kebiruan memuai di udara. Dan aku, tetap terjaga dengan situasi seperti ini. Cara hujan pagi ini membuatku terlalu kesepian.

Aku mengularkan kotak kebahagiaanku. Dengan setengah terburu aku segera membukanya, ternyata kosong. Tak kudapatkan selembar senyum di dalamnya apalagi setetes keramaian. Aku melihat kotak ini dengan mata yang tidak dimiliki orang lain. Aku bisa melihat berlembar-lembar senyum dan kepalan cahaya biasanya. Tapi, kali ini gelap! Yang ada hanya setangkai sunyi yang tumbuh dengan anggun dan indah di dalam sana. Kali ini aku lebih mirip seperti penyemai sunyi.

Sudah saatnya aku mengisi ulang kotakku ini. Sepekan terakhir aku menggunakan isinya hingga tak bersisa. Ternyata menggunakan berlembar-lembar senyum hingga berubah menjadi tawa itu tidak baik bagi tubuhku. Buktinya di saat aku butuh obat kesepian aku kehabisan stok senyuman. Rasanya seperti sia-sia untuk dipertahankan ketika kusaksikan lembaran senyuman itu berubah menjadi setangkai sunyi.

Memutar otak dimana aku bisa mengisi ulang kotak kebahagianku yang mulai jamuran ini. Di sela-sela tetesan air yang mereda, sepertinya sang empunya siang kembali bekerja. Di ujung barat di antara perbukitan yang baris dengan indahnya aku melihat paduan warna-warna yang paling rahasia buatku menganga dan yakin. Pelangi, tampak begitu indah dengan spektrum warnanya. Bahkan kotak ku mulai berisi lembaran kebutuhan kebahagiaan yang kembali memenuhi kotak ini.

Monday, April 4, 2011

Kau Pergi Hari Itu

Februari merah muda, kubayangkan bulan penuh gula. Aku menambang rindu yang tak berwarna. Tak ada, bening. Seperti sore 2 pekan belakang ini tak ada yang harus kukagumi. Tak ada orange yang menjinggakan senja, yang ada hanya pucat yang bisa kuajak berbagi kegugupan dan berbagi cemas.
Tertegun. Tidak ada apa-apa. Remang. Sore yang sama seperti kemarin aku terjaga. Angin semilir menyibakkan rambutku. Aku memejamkan mata sesaat. Kembali membuka dan mendapati orang yang kutunggu duduk di depanku.
"Sayang! darimana saja? aku sudah menunggumu dari setengah lima tadi" Ya, aku memang duduk di bangku taman ini sedari setengah jam yang lalu, bersama sepi yang setia menemaniku.
"A.. ehmmm, tadi jalanan padat kendaraan, aku tak bisa mencari celah sedikitpun untuk melaju lebih dari 20km/jam" Logatnya sedikit berbeda, sedikit aneh. Tapi aku masih mewajarkannya. Nafasnya pun tersengal-sengal.
15 menit berlalu, kami membisu. Dingin, sedingin udara taman sore ini. 30 menit berlalu bibirku masih sulit untuk menyampaikan berbagai luapan kerinduan yang aku tambang tadi pagi. Hanya dikalahkan oleh hawa dingin dari seorang lelaki yang yang biasanya membawa kehangatan tiap kali aku melihat sorot matanya.
Sore ini tidak ada kontak mata selama 30 menit dia datang untuk menemuiku setelah 2 pekan tak bertemu.
"Aku ingin menyampaikan sesuatu untukmu" Suaranya memecah kesunyian petang. Aku menoleh dan memandang mata terindah yang pernah aku lihat. Mata yang membuatku jatuh cinta sekaligus jatuh dan terluka.
"Aku tidak mau lagi melihatmu menderita karena menungguku. Aku tidak mau lagi melihatmu menanggung rindu padaku. Dan yang paling penting, aku tak mau melihatmu sakit karenaku" Aku memandang pasrah wajahnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun, apalagi sebuah protes yang sudah seharusnya aku lontarkan padanya.
"Aku akan pergi, pergi ke suatu negara yang tidak pernah ada di dunia. Tak perlu mencariku. Tak usah mengkhawatirkanku. Aku bahagia selama kau tetap mengenangku tanpa harus merindukanku" Dia mengecup dahiku. Yang mungkin menjadi kecupan terakhir untukku. Dia bergegas memakai jaket tebal ala orang eskimo, menutup rapat helm dan menyalakan motor merah marun kemudian bergegas meninggalkanku.
Mataku tak bisa lepas dari punggung lelaki yang melaju kencang dengan motor berwarna merah marun itu.
Pada jarum jam yang terus melaju di atas angka-angka telah berjam-jam aku duduk di bangku taman Kuteliti mungkin aku sedang bermimpi, mimpi buruk yang menimpaku hari ini. Berulang kali aku memastikan aku mendapati bahwa ini sebuah kenyataan. Aku mendesah pelan dan kudapati bahwa memang kau telah pergi hari itu.
Sekarang, aku lebih memilih mengalir saja, bagai waktu, bagai angin, bagai air. Memang aku tidak suka membangun mimpi. Aku perempuan yang menyerah. Sampailah di sini Februari merah muda. Tanpamu. Memang terasa lain. Tak mengapa

Saturday, April 2, 2011

Cerita yang Menetes dari Lilin Angka 20


Kemarin tanggal 1 di bulan 4, aku terlahir kembali ke dunia yang tidak pasti ini. Mendesis pelan dan muncul di keramaian Kampus Kemarau. Kusaksikan senja yang tidak jingga sore itu. Tak ada matahari di ujung barat dan langit basah. Sayup ku dengar gemercik air yang menetes dari atap Kampus yang tidak hijau, seperti rintihan kesepian. Bising suara bola pingpong lalu-lalang di lobi terbawah. Beberapa orang terpaku di dalam ruangan. Aku benar-benar sedang melihat pengungsian di kampusku. Kampus ini dimana beberapa bulan lampau, dalam kehidupan baruku, aku begitu mencintainya.
Di bawanya aku ke kantin dadakan. Kantin seadanya yang mampu memberi pasokan perut kami yang meronta kelaparan. Dengan maksut ingin membeli segelas teh hangat, aku berjalan paling belakang diantara rombongan. Mendorong pintu dan melihat teman-temanku membawa tart mini di atasnya ada lilin angka 20 menyala dengan berani. Seiring dengan tetesan lilin yang membuat angka 2 berubah wujud, aku menyapaikan sejuta harapan. Harapan yang berani seberani api yang melelehkan lilin-lilin di atas tart mini itu.
Kampus kemarau dan kantin dadakan di dalamnya menjadi saksi bisu kepala dua ku. Dan tart mini paling manis sepanjang 20 tahun perjalanan hidupku adalah hadiah terindah yang terkumpul dari jutaan perhatian teman-teman terbaikku. Begitu indahnya awal tahun ku. Tahun dengan angka 2 yang menjadi awal perjalanan besarku. Terima kasih, perhatian kalian adalah segalanya bagiku

Friday, April 1, 2011

Taman Bunga Dalam Rumah ku

Ia melepasku dengan wajah hampir tenggelam dalam senja yang kelam. Kuyakinkan padanya untuk jangan berharap aku akan kembali. Begitulah, ia mungkin saja masih membayangkanku di taman bunga pada pagi lembap. Seperti juga aku selalu membayangkannya sebagai kumbang yang mengagahi bunga. Seseorang yang membuatku percaya tentang mimpi. Tentang segala sesuatu yang ajaib. Ia membawaku menyelami kehidupan, terus mengalir. Terus tersenyum. Sebab, hari masih terlalu balita untuk menangisi keadaan.

Di sini, hujan turun sejak pagi. Februari basah pada musim yang tak lagi bernama. Terkadang membagikan cahaya yang berlimpah dan belakangan ini membawa air yang memenuhi selokan samping rumah. hujan hari ini membuat jendela kaca berembun bentuk titik-titik kecil, mengalir pelan, meinggalkan jejak basah. Kubuka gorden, dan pucat! Terlalu pucat aku melihat!

Aku gemetar, karena aku takut terluka, aku tak ingin hilang.

Aku menangkap sesuatu yang tiba-tiba hening. begitu dekat. Aku tertidur. Entah, mungkin tidak tidur tapi seperti tertidur.

Hening. Suara bunga-bunga menaungi telingaku.

Aku mungkin pula menjadi kupu-kupu, menangiskan sekuntum mawar yang hilang dari masa silam. Kupu-kupu yang suatu kelak akan pergi ke negeri tak terbayangkan. Tapi, tahukah ia, taman bunga dalam rumahku sedang tumbuh dengan indahnya.

Benar, aku merindukan kedatangan kumbang baru di tamanku.