Langit dan Bumi membentuk jarak. Malam dan siang bertemu di tanah batas, menukar warna. Biru, abu, putih dan hitam. Di beranda, melamun, asap, kabut, cahaya bulan, segelas teh hangat, mendoan kecap pedas dan sampah dapur.
Di bumi manusia bagai kisah: malam dan siang, gelap dan terang, hitam dan putih, lelaki dan perempuan kemudian tua dan muda.
Dan aku adalah perempuan muda yang menemukan rumah, lorong tanpa ujung. Sesuatu yang maharahasia. Hingga malam hari atau pagi mendatang setelah terjaga semalaman aku selalu menemukan sensasi hidup kembali di hari yang baru dari perjalanan yang luar biasa jauhnya. Tanpa batas. Lambat laun aku memberi namanya mimpi.
Sepanjang malam hari Selasa aku melamun. Hingga datanglah seorang kawan lama menawarkan kehidupan untukku. Aku bertemu dalam cinta semalam. Melihat bintang diam-diam muncul dari kaca jendela.
Pagi-pagi sekali kawanku itu pamit pulang. Semuanya sampai di situ saja. Ia pergi, entah kapan akan kembali. Entah kembali atau tidak akan pernah datang lagi. Aku tidak pernah tahu. Namun, bagiku aku harus menjalani hariku dengan penuh suka cita, seperti kandungan polifenol yang memebuatku kecanduan untuk terus menenggak teh hangat.
Tiba pada musim itu terlalu banyak peristiwa yang berlalu.
Banyak pelancong kepedihan yang datang. Mereka datang lengkap dengan kamera dengan lensa canggih yang juga mahal untuk mengabadikan penderitaanku.
Sepanjang malam udara kamar terasa panas. Aku melihat ibu tampak gelisah sambil sesekali memberikan lembaran tisu guna memetik air mataku. Namun, aku selalu berusaha menenangkan hatinya bahwa aku baik-baik saja, sembari terus meneliti jendela. Dan aku tertelan malam!
Dari jendela kamar aku melihat 2 sosok bayangan. Satu bayangan lelaki basah keringat dan perempuan berwajah pucat. Tidak salah lagi! Itu Wisnu, kawan yang membuatku jatuh cinta dan setia menunggu ia pulang menemuiku. Tapi, siapakah perempuan berwajah pucat dengan muka seperti gadis masih SMA.
Wisnu memang datang menepati janjinya. Ia datang lengkap dengan perempuannya. Perempuannya? Iya perempuan berwajah pucat dengan muka lebih cocok menjadi adiknya itu adalah perempuannya. Hampir 5 bulan dari bulan Oktober lalu aku menunggu ia pulang. Kali ini ia pulang memperkenalkan pacar barunya.
Aku menatap bayang-bayang pohon yang tiga kali lipat lebih besar dari badanku. Aku berteduh dalam bayang-bayang itu. Rumah itu! Ya. Seolah aku menemukan rumah baru. Aku menyerahkan tubuhku yang mulai terasa lelah. Sebelum tertidur aku bergumam, “biarkan aku menemukan rumahku sendiri. Selamat jalan cintaku, pergilah.”
Aku tahu di ujung harinya dia masih menungguku, tapi aku lebih memilih jalan lain. Perjalanan yang mungkin masih jauh. Sejauh masa lalu yang pelan-pelan pasti menguburku. Aku pergi dari masa laluku, menuju rumah pada musim lain; musim bunga. Karena aku perempuan.
No comments:
Post a Comment