Februari merah muda, kubayangkan bulan penuh gula. Aku menambang rindu yang tak berwarna. Tak ada, bening. Seperti sore 2 pekan belakang ini tak ada yang harus kukagumi. Tak ada orange yang menjinggakan senja, yang ada hanya pucat yang bisa kuajak berbagi kegugupan dan berbagi cemas.
Tertegun. Tidak ada apa-apa. Remang. Sore yang sama seperti kemarin aku terjaga. Angin semilir menyibakkan rambutku. Aku memejamkan mata sesaat. Kembali membuka dan mendapati orang yang kutunggu duduk di depanku.
"Sayang! darimana saja? aku sudah menunggumu dari setengah lima tadi" Ya, aku memang duduk di bangku taman ini sedari setengah jam yang lalu, bersama sepi yang setia menemaniku.
"A.. ehmmm, tadi jalanan padat kendaraan, aku tak bisa mencari celah sedikitpun untuk melaju lebih dari 20km/jam" Logatnya sedikit berbeda, sedikit aneh. Tapi aku masih mewajarkannya. Nafasnya pun tersengal-sengal.
15 menit berlalu, kami membisu. Dingin, sedingin udara taman sore ini. 30 menit berlalu bibirku masih sulit untuk menyampaikan berbagai luapan kerinduan yang aku tambang tadi pagi. Hanya dikalahkan oleh hawa dingin dari seorang lelaki yang yang biasanya membawa kehangatan tiap kali aku melihat sorot matanya.
Sore ini tidak ada kontak mata selama 30 menit dia datang untuk menemuiku setelah 2 pekan tak bertemu.
"Aku ingin menyampaikan sesuatu untukmu" Suaranya memecah kesunyian petang. Aku menoleh dan memandang mata terindah yang pernah aku lihat. Mata yang membuatku jatuh cinta sekaligus jatuh dan terluka.
"Aku tidak mau lagi melihatmu menderita karena menungguku. Aku tidak mau lagi melihatmu menanggung rindu padaku. Dan yang paling penting, aku tak mau melihatmu sakit karenaku" Aku memandang pasrah wajahnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun, apalagi sebuah protes yang sudah seharusnya aku lontarkan padanya.
"Aku akan pergi, pergi ke suatu negara yang tidak pernah ada di dunia. Tak perlu mencariku. Tak usah mengkhawatirkanku. Aku bahagia selama kau tetap mengenangku tanpa harus merindukanku" Dia mengecup dahiku. Yang mungkin menjadi kecupan terakhir untukku. Dia bergegas memakai jaket tebal ala orang eskimo, menutup rapat helm dan menyalakan motor merah marun kemudian bergegas meninggalkanku.
Mataku tak bisa lepas dari punggung lelaki yang melaju kencang dengan motor berwarna merah marun itu.
Pada jarum jam yang terus melaju di atas angka-angka telah berjam-jam aku duduk di bangku taman Kuteliti mungkin aku sedang bermimpi, mimpi buruk yang menimpaku hari ini. Berulang kali aku memastikan aku mendapati bahwa ini sebuah kenyataan. Aku mendesah pelan dan kudapati bahwa memang kau telah pergi hari itu.
Sekarang, aku lebih memilih mengalir saja, bagai waktu, bagai angin, bagai air. Memang aku tidak suka membangun mimpi. Aku perempuan yang menyerah. Sampailah di sini Februari merah muda. Tanpamu. Memang terasa lain. Tak mengapa
beautiful writing..
ReplyDeletepemilihan katanya aku suka..
:D
lanjutkan..
3 bulan lagi kita diskusikan judul bukunya..
haiah..
hahahaha
cie penerbit nih mas ceritanya? hahaha makasi ya mas :))
ReplyDeletebisa dibicarakan lah her..
ReplyDelete:D
semangat buat nulisnya ya..