Wednesday, December 28, 2011

Sesosok Keras Kepala

Tuhan memang baik, Dia mengirimkan umatnya untuk menemaniku. Sesosok keras kepala dengan subjektivitas di tiap penilaiannya. Dan aku memberanikan diri dengan membuka pintu penuh peluh. Aku perempuan semi introvert melankolia sedang melawan rasa takut dengan sebuah ikatan. Perempuan yang tak tahan dengan bisikan semilir di kuping. Sebulan yang lalu di toko buku.

Ini tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala dengan pola pemikiran yang aku suka. Awal dari keraguan yang kuyakin akan berkembang sesuai waktunya, tentu dengan kesempatan pada setiap keadaan.

Ini tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala dengan rasa malas yang keterlaluan. Tuhan selalu punya banyak cara untuk melatih kesabaranku. Cara yang asik. Ku Pikir Dia mempercayaiku secara berlebihan, aku hanya perlu belajar meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa.

Ini tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala yang dikelilingi berbagai macam kenakalan remaja di era modernisasi ini. Aku tahu semua akan baik-baik saja selama tidak ada yang berlebihan di satu pihak. Kamu, yang sedang membaca tulisan amburadul ini tau maksutnya.

Ini tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala dengan ego yang luar biasa. Kupikir, dengan mengiyakan ajakanmu aku semakin tau menjadi anak terakhir dengan ego yang mendominasi hanya terjadi dikeluargaku, tidak pada hubungan ini.

Ini memang tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala yang akan berkembang biak dengan tulisan kedua ketiga dan seterusnya sesuai kamu bisa membuat otakku berorgasme.

Ini tulisan pertamaku tentang Sesosok keras kepala yang sudah berhasil membuatku jatuh cinta(lagi).

terimakasih.

Saturday, December 24, 2011

Tuhan, Aku Boleh Tidak Suka dengan Bapakku?

Sebenarnya aku tidak mau menulis tentang ini di diari digital. Selain malu aku juga takut dicap sebagai anak durhaka. Tapi, aku juga tidak tau harus cerita kemana. mungkin ini yang namanya kesabaran ada batasnya. Ini tulisan tentang bapakku. Yang menurut kamusku arti kata bapak adalah tembok raksasa yang menutup ruang gerak kreativitasku atau sinonim yang tepat adalah pembunuh kreativitas dalam kebebasan berpendapat. Bukan masalah larangan pulang lebih dari jam 10 malam. Tapi ini lebih ke kepercayaan yang tak kunjung ku dapat. Aku, gadis 20 tahun yang diperlakukan seperti anak kecil berumur 12 tahun.
Seharusnya bapakku itu bersyukur, punya anak gadis manis taat aturan seperti ku. Minta-minta yang berlebihan pun tak pernah kulakukan. Kalau memang didikan militer seperti ini, keras dan otoriter, brarti aku salah satu manusia yang rugi telah dilahirkan ke dunia. Dari kecil, dari sebelum aku tau bagaimana cara membaca apalagi menulis, dari sebelum kenal bangku sekolah, aku sudah sering mendengar omongan-omongan keras yang keluar dari mulut bapak. Sampe sekarang, sudah mahasiswi tingkat tengah masih sering aku mendengar kalimat yang seharusnya tak pernah ku dengar lewat telingaku ini. Hari ini malam natal, malam penuh kedamaian katanya. Tapi aku kok ngga merasakan kedamaian itu di sini di keluarga ini. Keluarga ku baik-baik saja. Cuma aku yang kurang suka dengan cara bapak berbicara. kata-kata kasar yang seharusnya tak layak dilontarkan oleh seorang bapak sering aku menjumpainya, sampai aku kebal dan apatis terhadap bapakku sendiri. Aku memang terlihat baik-baik saja di depannya. Kalau memang cara didikan dia seperti itu, seharusnya dia juga tau sudah menanam apa di diriku ini. Maaf, aku sama sekali tidak respek sama bapakku sendiri. Dan maaf, telingaku tuli dengan nasihat-nasihat standart kalian yang sebagian besar berkomentar kalau bapak ku itu benar dan ini cuma sekedar kenakalan remajaku saja. Hey, sebentar! Apa aku pernah nakal? Aku, anak gadis yang taat aturan. Bandel sedikit kupikir lumrah.
Dengan begini bagaimana bisa bapakku mendapat respon yang baik dari anaknya sendiri jika telingaku masih sering mendengar kata yang seharusnya tak penah ku dengar. Biaya sekolah, tempat tinggal geratis dan segala fasilitas yang menunjang keseharianku. Aku tak penah meminta ini semua. Bukankah ini sudah menjadi kewajiban seorang bapak,salah sendiri membuahi sel telur ibu ku dan menjadikanku seperti ini. Bapakku hanya kurang beruntung mendidik gadis manis nya seperti itu. Tuhan, apa aku boleh tidak suka dengan bapakku?

Friday, December 23, 2011

Pohon Natal Mungil Di Ujung Kamar


Sehari sebelum malam natal aku mendapat bingkisan dari seorang sahabat. Kado natal yang dari dulu aku idamkan akhirnya sekarang kesampaian ada di ujung kamar. Aku punya teman ngobrol baru. Kamarku jadi terlihat lebih segar dengan warna hijau. Dan lebih menarik dengan patung-patung yang mengelilingi cemara plastik ini. Kupikir untuk memiliki kandang domba di dalam kamar taun ini hanya angan belaka, tapi sekarang aku sudah menyulap dan mataku sekarang punya pemandangan baru. Sahabatku ke masjid, dia solat, dia juga memberiku kado natal. Hey, perbedaan ini indah bukan? kenapa banyak orang menganggapnya sebuah ketakutan yang mengerikan? ah sudahlah. Aku punya pohon natal mini sekarang. Kamarku makin hijau, lengkap dengan bayi Yesus dan di kandang domba. Damai natal beserta kalian semua. Selamat natal :)

Thursday, December 15, 2011

Tulisan Ini Lagi

Entah kemarin ada apa, aku mandul akan aksara. Disetubuhi rasa malas tiap malam. Segelas inspirasi tak juga kutemui. Pun dengan imajinasi yang makin kaku seperti rambut anak-anak punk yang diberi lem kayu. Rasanya aneh, tumpukan buku dan novel hasil barter pun tak kunjung ku telan. Padahal aku tau aku sedang lapar, tapi mual. Begitu banyak isi kepala yang ingin keluar dan aku bingung harus memulainya darimana, dariapa dan bagaimana. Bahkan aku juga lupa bagaimana cara menulis yang baik, yang tidak membosankan. Cukup diriku saja yang membosankan, tulisan ini jangan. Karena hanya dengan media seperti ini aku bisa mencuri perhatian banyak orang, salah satunya kamu. Iya. Kamu yang sedang membaca tulisan yang keluar dari otak butut ini.
Awalnya kupikir aku akan menjadi seorang yang introvert. Karena aku selalu memilih untuk diam daripada menceritakan ceritaku. Alasannya cuma satu, aku takut. Aku takut ceritaku terdengar membosankan di telinga pendengar. Tapi yang lebih menakutkan lagi, aku takut hanya ada kata sabar yang keluar dari mulut pendengar. Walau sejujurnya aku kan merasa jauh lebih ringan setelah membagi cerita-cerita itu. aku adalah sebuah toko yang menjual rasa kepercayaan dengan harga yang paling mahal. atau bahkan tidak menjual souvenir dengan merk percaya itu. ku pikir brand terkenal di dunia masih kalah mahal dengan percaya yang kujual di toko ku ini.
Ini adalah anak pertama ku di bulan terakhir pada ujung tahun 2011. Desember. Bukan bulan ulang tahunku, tetapi selalu yang kutunggu. Dimana aku pertama kali mengenal apa itu setia, suka, duka dan kuburan luka yang lupa pernah menganga. Bahkan Efek Rumah Kaca, trio jenius, juga punya sepotong lirik yang nikmatnya sama dengan sepotong strawberry cake yang kutemui di kota kembang beberapa waktu lalu. Begini katanya, “menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda … aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember…” sejak pertama kali telingaku mengenal lagu ini sampe sekarang, pun saat jari-jariku menari diatas keyboard, selalu ada yang keluar dari mataku. Aku lebih suka menyebutnya air terjun. Ya, ada air terjun yang begitu deras seiring diputarnya lagu tsb. Ku pikir Cholil terlalu melankolia saat menulis lirik itu. atau mungkin hanya sekedar sugesti dari cerita lalu yang pernah terjadi. Bisa jadi aku terjebak suram yang makin kelam makin tertuju pada kebahagiaan. Yeah, setengah perjalanan bulan ini sudah lewat dengan kilat. Dan aku? Aku masih gini-gini aja menjalani hidup. Dengan ego yang tak penah bijak, dengan dahan kepala yang rapuh, dengan ranting yang lapuk, dengan hati yang tertutup abu. Dan dengan orgasme otak yang semakin kadang-kadang-aja.
Hahahaha aku memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan hujan-hujanan, makan es krim, minum teh, memburu berbagai makanan daripada menulis tentang perasaan. Oh iya, aku juga sedang berjalan menuju ruang terang, rasanya seperti ada yang menuntunku, walau aku juga masih ragu.

Wednesday, October 19, 2011

yang Aku Dapat dari Rasa Bosan

Tuhan Yang Maha Kece, caraMu begitu banyak untuk mengistirahatkan hambamu yang kelelahan. Kau mengenalkanku pada Varicella yang kemudian aku terkapar di ruanganku sendiri sudah separuh dari 7 hari dalam seminggu. `virus yang cukup menyakitkan dan mempunyai efek bisa mengurangi rasa percaya diri karena bekas-bekas yang ditimbulkan. Aku sendiri merasa aneh berhari-hari di dalam rumah, tidak ada yang harus dikerjakan secara optimal, kehabisan buku bacaan makin parah lagi teh di dapur hanya cukup untuk 2 gelas saja. Selama ini aku hanya ditemani monitor tua berwarna hitam, dan kidung-kidung yang berhasil dikeluarkan lewat speaker. Ritual seperti itu terhenti ketika jam tidur berkunjung. Dan dimulai lagi keesokan hari dari awal membuka mata. Dan ini membosankan! Mungkin aku yang terbiasa dengan mobilitas tinggi tiba-tiba diharuskan untuk lebih banyak di menghabiskan waktu di rumah. Ini lebih lelah daripada seharian berkeliling jalanan ibu kota dan memperhatikan dosen ngajar di kelas. Aku juga jadi akrab dengan Acyclovir, tablet 400mg yang setiap 5jam sekali harus masuk ke dalam tubuhku. Dunia hanya seluas kamar saat aku kehabisan ide untuk membunuh bosan yang menggerogoti tubuhku, virus bosan kupikir lebih mengerikan dibanding Varicella itu sendiri. Ujungnya aku hanya berhasil menulis selembar keluh sebenarnya lebih baik jika isi tulisan ini bukan keluhan-keluhan yang kurang mendidik. Dari sini Tuhan jadi terlihat semakin Kece, Dia memberitahu tentang sesuatu yang harus dipelajari melalui pengalaman yang kualami sendiri. Dan setelah ini aku sudah resmi dilantik menjadi manusia seuntuhnya karena Varicella ini. Harapanku, tidak ada yang membekas sedikitpun, yang membekas cukup luka dalam hati saja.

Tuesday, October 18, 2011

Laut, Langit dan Keangkuhanmu

Aku adalah nahkoda amatir yang mengendarai kapal kayu setengah tua. Dan kamu adalah badai yang mengombang-ambingkan aku di tengah lautan. Sayang, terkadang aku ingin menaklukkan ganas hempasan ombakmu, aku ingin membelaimu dengan gurat-gurat jingga saat mentari tenggelam di tepi kakiku. Tapi apa bisa? Bisaku hanya menceritakan sesak pada nyiur, batu karang dan pohon bakau yang tegar tumbuh di pesisir yang kuanggap makhluk yang tak akan berkhianat. Dan merekalah yang telah mengisi kekosonganku. Aku kian tercekik pekat asin yang terus menjerang kesadaran.
Aku adalah pilot kurang latihan dengan pesawat seadaanya. Dan kamu adalah kabut tebal yang mengganggu jarak pandang. Sayang, engkaulah biru pada hamparan semesta, dan aku abu-abu pada pelangi yang tercipta. Burung-burung sering menyanyikan lagu nada mayor yang menyemangati
menguatkan kaki ingin berhenti. Langkahku kian terpaku, mataku mengapung. Cerita ini sudah habis ketika aku tak bisa menerbangkan pesawatku pada ketinggian. Akankah aku mati secepat ini?

Saturday, October 15, 2011

Freak Trip


Sabtu, 15 Oktober 2011. Hari itu pertama kalinya aku jalan-jalan dengan orang baru. Sebut ini Freak Trip. Kami, aku dan temanku ikut rombongan Rancana Undip untuk join Fun Rafting di Magelang. Tidak mengenal 1 pun, belum pernah ngobrol sekalipun. Sebelumnya kami berdua memang punya keinginan tinggi untuk bermain-main di kali yang lengkap dengan jeram dan arus yang cukup deras, cocok untuk memacu adrenalin dan melonggarkan syaraf-syaraf otak yang penuh dengan peluh. Awalnya canggung, tapi karna orang-orang di dalam mobil sangat welcome dengan keberadaan kami, kami jadi mudah melebur menjadi satu. Baru pertama kali bertemu sudah main seharian keluar kota menyusuri alam Magelang pula. Ya, rasanya aku sendiri seperti menemukan keluarga baru di sini.
Oh iya, aku bawa oleh-oleh dari jalan-jalan kemarin. foto ini buah tangan penuh kebahagiaan. Rasanya itu luar biasa, aku mendapat kepuasaan tersendiri. Tuhan, terimakasih telah mengijinkanku menikmati lukisan maha dahsyat Mu. Next destination is Kali Suci Wonosari, anyone join me? 

Tuesday, October 11, 2011

Warnai Aku

Berikan aku pelangi dalam pelukanmu
Tuk warnai kanvasku yang abu-abu
Memberi optimis melihat ke depan
Menyemangatiku dengan kapsul kasih sayang

Dan bila spasi begitu jauh menjarakan tangan kita
Tak mengapa..
Karna akan ada titik di setiap akhir cerita
Dan ruang yang begitu luas menyudutkan
Kan ku hapus berbagai sekat di dalamnya

Kau melukis
Kau mengais
Dengan wajah merah merona
Tanpa ragu.. kau mewarnaiku

Menyorot sisi kelamku
Di heningnya malam

Menyatu
Membaur dengan harapan
Bergandengan tangan melangkahi realita

Thursday, October 6, 2011

Taman Kanak - Kanak

Aku seperti sedang disulap menjadi anak kecil. Aku ingin bermain ayunan dari rotan di taman kanak-kanak yang letaknya di sebarang jalan bebas hambatan. Kali ini aku butuh banyak teman, kali ini juga aku takut sendirian.
Temanku datang, dia menjelma menjadi sunyi, aku dipeluk sepi. Hangat. Aku ngga kedinginan. Prosotan, ayunan, bergelantungan ditiang-tiang semua ku mainkan tanpa ada yang ketinggalan. Aku dan teman-temanku tak merasa kelelahan sedikitpun. Oh ya! aku juga sedang memakai seragam sekolahku dengan rapi. Dengan bando bunga-bunga di kepala dan gelang warna-warni di tangan.
Diantara permainan yang ada di taman kanak-kanak ini aku paling suka bermain ayunan. Ayunanku tidak akan berhenti kecuali aku menghentikannya sendiri, begitu dengan rasaku yang sulit terdefinisi.
Menjadi anak kecil asik sekali. Makan banyak es krim, main ayunan. Hujan-hujanan lalu minta dipeluk. Biasanya ritual itu bisa membuatku merasa senang.
Malam ini. Aku makan es krim. Aku minta pelukan. Aku hujan-hujanan. Aku tersenyum bahagia. Sangat sederhana, entah sampai kapan.

Saturday, October 1, 2011

Perempuan itu Adalah Aku yang Berkarya, dan Bacaan itu Adalah Tulisan dengan Rasa

Malam ini ku habiskan di ruang tanpa asa, memutar lagu-lagu bernuansa biru. Air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti. Dan sekotak es krim vanilla habis tanpa terasa. Cuma butuh sedikit kecerdikan untuk membunuh sepi. Dan aku berhasil membunuhnya malam ini.

Aku sangat menikmati malam ini. Malam berikutnya aku maknai. Malam ini saja untuk menikmati hidup. Aku begitu menyukai malam ini. Meniadakan ketiadaan seperti mereka. Meski yang kujauhkan terasa lebih dekat dan yang sudah jauh terlihat mengerikan. Dan tiba-tiba saja aku ingin memasukan jam dinding kamarku ke dalam freezer, aku hanya ingin membekukan malam ini. Tapi percuma saja, sbab angka-angkanya selalu berlari pada dinding ruang ini.

Aku bersama malaikat-malaikat disekitarku mendedikasikan penuh malam ini untuk kidung-kidung kelabu dan sekotak es krim, semoga mereka akan selalu setia menemaniku dalam proses persalinan menjadi seorang ibu, seorang ibu yang melahirkan anak dari hasil orgasme otak.

Friday, September 16, 2011

Seuntai Parasit Di Hati Biru

Malam ini malam dimana kenangan bosan menjadi potensi. Wajahmu kembali bertamu. Khayalku terpaku meragu. Sedangkan aku, aku begitu lelah untuk untuk merekahkan senyum tanpa rasa itu. aku juga begitu lesu tak berdaya ketika parasit wajahmu menggerogoti sendunya malamku. Melemahkan sistem kerja logikaku. Tuhan, apa ini yang namanya berpikir dengan hati? Sekalipun aku meragukan setiap akhir yang dilahirkannya? Ya, mungkin ini yang dinamakan hati orang siapa yang tahu.

Aku hanya…hanya perempuan yang mudah mengingat dan susah melupakan setiap langkah yang pernah dilalui bersama, bersama lawan jenis yang begitu dahsyat memberi energy. Dulu…duluuu duluu sekali, jutaan hari yang lalu. Ketika setiap lilitan wajahmu menguat, dan aku hanya bisa berpasrah pada setiap detik yang terus merambat. Aku hanya terlalu pusing mau menggantikan waktu, yang sebenarnya aku tahu jarum jam di dinding kamarku merasa tersinggung dengan tingkahku. Tingkah, dimana aku ingin sekali mengenalkannya pada kenangan sekaligus penantian.

Hujan kembali berkunjung, dia membawa seberkah kesenduan, sepasang sunyi dan sekotak kebahagiaan. Aku meyeduh tehku, kutuang kedalam cangkir bunting warna abu. Seteguk ketenangan ku sesap perlahan. Ku teguk dalam keadaan hangat-hangat. Aku tersedak! Aku tetap meneguknya hingga habis, tak bersisa. Di balik tembok berlumut tipis kamarku, kutempelkan daun kupingku. Bergulat mati-matian demi mendengar samaran suaramu ditiap tembok yang sering kamu ajak bercanda ini. Sakit memang, tapi entah aku begitu menikmati ritual yang membopongku ke lembah kekelaman. Semakin dalam semakin bahagia dan kenangan itu semakin nyata.

Berpura-pura bahagia ketika membiru. Semakin susah dilakukan, semakin mudah untuk menemukan kebahagiaan, kebahagiaan tanpa akhir. Kapanpun kamu mau berpura-pura.

Dan kebahagiaan? Tak lebih dari sebuah kesehatan dan ingatan yang buruk.

Sunday, September 11, 2011

Di Toko Buku

Malam Minggu, orang bilang malam penuh candu asmara. Bagi perempuan sepertiku malam minggu sama seperti malam-malam biasanya. Hanya aku punya waktu dimana seharian bebas menelanjangi buku-buku di bookstore favoritku. Ya, bookstore memang tempat investasi isi kepala termanjur yang sering ku kunjungi. Apalagi aku perempuan tanpa partner yang kemana-mana sendiri, tanpa ada sosok di sebelah kanan yang selalu melindungi. Kata orang malam minggu tak bersama kekasih itu mengerikan. Aku selalu mencari-cari dimana letak mengerikannya. Mungkin, aku terlalu bahagia dengan keadaanku yang sekarang.
Jutaan malam minggu ku habiskan di toko buku. Sekedar membaca di tempat atau membawa pulang untuk camilan di rumah. Selalu menemukan kebahagiaan ketika aku bisa gelesotan di lantai itu, dan aku merasa ini surgaku. Sederhana bukan untuk bisa bahagia. Tak perlu sedih dahulu, bahagia itu diciptakan jangan dicari. Pikiran seperi itu yang selalu mendorongku untuk tetap tersenyum bagaimanapun keadaanku pada saat ini. Dan aku terlalu munafik untuk tidak mengakui aku juga butuh partner berbagi kebahagiaan dan kesedihanku. Ah… sudahlah terlalu melancholi intuk membahas hal ini.
Malam minggu kemarin entah malam minggu kebarapa aku mengunjungi toko itu. Berbekal sekoper rasa ingin tahu tentang bacaan-bacaan terbaru yang baru saja terbit. Aku berjalan dengan penuh birahi. Dan malamnya aku bercinta dengan kertas dan pensil kayu kesayanganku. Hasilnya? Orgasme otak ketika tulisanku selesai. Sesimple inikah malam minggu yang kata orang itu mengerikan? aku itu seperti sepi yang terharu memeluk dirinya sendiri. Melangkah pasti melalui hari-hari. Karena bagiku setiap kisah itu punya porsi kenangan masing-masing. Dan aku sedang menikmati tiap porsi yang ku santap setiap hari.

Monday, September 5, 2011

Cerita Di Dalam rumah-Mu

Minggu sore aku mengunjungi rumah-Nya. Seperti biasa, aku datang berbekal sekantong harapan. Dengan jiwa kelam, aku menyebutnya berkah. Perjamuan telah dimulai kira-kira 10 menit yang lalu, aku terlambat. Aku duduk di kursi depan mendekati altar. Seperti sungai aku mengalir mengikuti adegan demi adegan yang telah dijadwalkan. Yang aku rasakan, aku menemui ruang kosong di tengah-tengah lagu puji-pujian yang sedang berdendang. Mengikuti alunan, aku berduet dengan Tuhan.

Menengok ke sebelah kiri, aku melihat seorang gadis mungil, kira-kira berusia 6 tahun. Dia tidak menghadap ke altar. Dia menghadap ke belakang duduk di bawah dan memejakan kursi yang biasanya untuk duduk dia mengubahnya sebagai tempat meletakan buku gambar dan ke 12 pensil warnanya. Aku menatap kagum, anak sekecil itu memiliki 12 warna sedangkan aku perempuan semi apatis hanya mampu melihat 2 warna selama bertemu semesta. Hitam dan putih, dan aku berada diantara keduanya, abu-abu.

Namanya Agnes, gadis berambut bob ini ternyata dia seorang hiperaktif. Laki-laki setengah baya yang duduk disebelahnya memberitahuku, dia ayahnya. Ayahnya memberitahu bahwa dia tidak bisa diam, selalu saja bergerak, dan mewarnai buku gambar adalah kegemarannya. Agnes menyapaku dengan ramah.

Agnes : “Mbak namanya siapa? Aku Agnes” senyuman lugu tersirat ketika dia menanyakan ini padaku
Aku : “Hei Agnes, aku Herina. Kamu lagi ngapain? Mbak boleh lihat?” aku berusaha mengeluarkan senyum teramahku pada saat itu.
Agnes : “Aku lagi mewarnai gambar. Mbak suka warna apa? Biar baju ini aku warnai pakai warna kesukaan mbak herina.”
Aku : “Agnes pintar sekali mewarnainya. Oh iya, mbak suka warna merah. Coba baju yang itu diwarnai dengan warna merah ya.”
Agnes :”Oke mbak, ini warna merah buat mbak herina. Biar kelihatan cantik diantara warna hitam dan putih ya.”

Sementara gadis disebelahku sibuk dengan gambarnya, aku menatap sayu ke meja yang kudus. Sesekali aku mencuri hasil warna milik Agnes. Dan hasilnya memang cantik. Ada warna merah diantara hitam dan putih. Aku kemana saja selama ini. Hanya mendominasi kedua warna tersebut.
Seperti biasa, aku selalu meninggalkan gereja paling akhir. Bedanya, kali ini aku tidak sendirian. Ada Agnes dan ayahnya disampingku. Kami bertiga sama-sama merendahkan diri berpasrah padanya untuk mengadu segala keluh kesah pada-Nya.
Dengan mata terpejam dan penuh kihmad. Kami memohon perwujudan pribadi. Dan Agnes yang entah tidak bisa meminta dalam hati atau mungkin memang begitu caranya berkomunikasi dengan-Nya. Aku mendengar segala doa yang terucap dari bibir tipis gadis bermata sipit itu. kira-kira begini isi doanya
“Tuhan, terima kasih aku masih boleh mewarnai gambar-gambarku di rumah-Mu. Semoga akan terus begini. Jaga ibu yang di surga ya, jaga ayahku juga biar bisa terus jalan-jalan sama aku. Tuhan, terima kasih untuk teman baru yang kutemui di rumah-Mu. Berkati Mbak Herina Tuhan, warnai hidupnya, sama seperti aku mewarnai gambarku dengan pensil warnaku. Da da, sampai ketemu minggu depan.”

Aku masih memenjamkan mata, tidak berkata dalam hati. Aku belum sama sekali menyampaikan wujud pribadiku. Aku hanya mendengar doa dari gadis polos disebelahku. Agnes keluar terlebih dahulu, dia sengaja tidak pamit karna tahu aku masih berdoa. Begitu kira-kira isi pikirannya. Sekarang tinggal aku sendiri. Ada gejolak luar biasa, dan aku setengah tidak percaya dengan doa singkat yang tercipta dari gadis manis tsb. Aku meneteskan air mata, dan aku hanya mampu mengeluarkan kata AMIN setelah sekian lama hening dan menatap nanar kehidupanku kebelakang.

Tuesday, August 16, 2011

Dikejar Deathline

Aku menulis dengan bahagia, tanpa target tanpa upah. Semua ku lakukan hanya untuk memenuhi kenikmatan yang sederhana. Seperti sekarang, sebenarnya aku tak ada bekal untuk menulis. Aku mandul ide. Entah mengapa jariku ingin saja menari dengan suka cita diatas keyboard setengah tua ini. Berbekal secangkir teh hangat dan ubi bakar madu yang…ah, bisa menghasilkan perpaduan yang pas. Sepat rasa tehku ini diimbangi dengan rasa ubi madu. Manis, semanis memori yang terbesit seketika. Hahaha lagi-lagi kenangan. Ya, karena aku masih susah untuk berdamai dengan masa lalu segala apapun yang manis lewat dengan jalangnya dipikiranku. Well, setidaknya aku sudah berdamai dengan malam, sahabatku yang setia menemaniku dalam kondisi apapun. Semoga saja dia tak pernah bosan sebab dia ku jamu dengan jutaan doa.

Intermezzo yang rasanya seperti nasi hari kemarin. Kering dan basi, baunya pun keliwat kecut. Loh, kenapa jadi serius seperti ini ya, seperti sedang dikejar deathline kerja kantoran saja. Tapi yang aku rasakan kali ini benar-benar sedang dikejar deathline. Dikejar kematian. Kematian ide-ide yang tak pernah diasah. Kematian isi kepala yang terjangkit virus kemalasan. Padahal akhir-akhir ini aku beralih profesi menjadi penanti pagi. Bermodalkan selimut sepi, aku terjaga dengan kihmadnya. Selama masa peralihan dari malam-dinihari-pagi, aku duduk di sofa empuk. Sofa yang nyaman, lebih nyaman dari orang-orang baru yang bertamu di rumahku. Saat itu aku sering berjumpa dengan waktu, ingin rasanya aku menyapa nya dan menyuruhnya untuk singgah sebentar bersamaku bersama secangkir teh hangat sekedar berbagi tentang pengalamannya selama ini. Kedengarannya menarik bukan? Sayangnya dia terlalu sibuk berjalan menuju masa depan. Padahal aku juga ingin mengenalkannya pada penantian sekaligus kenangan. Lain kali aku yakin bisa bercengkrama dengannya. Karena aku adalah penggemar berat sang waktu.

Seharusnya menjadi penanti pagi lebih bisa melahirkan anak-anak baru untuk di mainkan di buku harian digital ini. Tapi, aku lebih banyak mendapati diriku yang seperti kapas, lemas. Pada dini hari aku terjebak dalam dentingan melodi. Aku luluh, aku lunglai. Sering kujumpai diriku yang lebih ambigu dari sekedar kata rancu. Lebih sakau dari pengobat yang kehabisan barang. Sembari sesekali aku menengok ke kanan ada yang sedang menanggung harapan, disebelah kiriku ada yang sedang menanggung beban. Tepat di depan ku ada cermin besar, dan di sana aku menjumpai aku yang sedang menanggung malu. Fiktif, menanti damai bagai dongeng anak kecil. Menandai setiap jejak dengan mimpi. Bercerita, bermain dengan khayal tak nyata. Bergulat dengan cuaca yang seolah-olah mendukung sepi. Berjaga menanti harap segera datang tak terduga. Mengintip setiap ketukan sepatu yang terdengar. Kenyataanya, tak ada yang berubah dari tempat dimana aku duduk menanti pagi. Semua tampak sama dalam kesusahan mencari kedamaian.

Saturday, July 30, 2011

H

H for Hot
H for Handy
H for Harmonic
H for Hatred
H for Heart
H for Helpful
H for Hilarious
H for Histrion
H for Holiday
H for History
H for Hurt
H for Home
H for Hopeful
H for Heroine
H for Happiness
H for Herina

Thursday, July 21, 2011

Surat Sederhana untuk "Lintah Penghisap Darah" di Senayan

Yth.Bapak/Ibu Anggota Dewan.
Dimana pun Anda berada (di gedung kura-kura tengkurap, di mobil berpajak ratusan juta, di toko brand terkemuka, di rumah dinas seharga miliaran rupiah, di tempat ibadah. Dimanapun Tuhan menangkap setiap bayangan kalian).

Saya hanya ingin minta tolong dan bertanya pada Anda sekalian. Tolong lihat kami rakyat dibawah garis miskin yang juga ingin merasakan bangku pendidikan tapi tak bisa lantaran biaya yang selangit itu. Rakyat telanjang pendidikan yang diperbodoh di negeri sendiri.

Setahun yang lalu, dimana Anda dan serombongan manusia berjas rapi bersepatu mengkilat dilantik, disumpah serapah di bawah kitab suci di Istana termewah di negeri manusia bertopeng ini. Berjalan dengan angkuhnya, bergelimangan tahta dan tidak lupa mengumbar janji di podium eksklusif itu. Salah satu janji yang masih saya ingat sampai sekarang adalah “pendidikan murah untuk kalian yang kurang mampu!”

Bahkan dengan bangga dan yakinnya kalian mengaku sebagai penyambung lidah rakyat. Kalian, manusia(yang mengaku) terpilih diberi amanat oleh kami untuk mengemban kebajikan. Dimana janji sekolah murah untuk kaum tak kasat mata yang jauh dari dewa keadilan?
Kenapa lama-lama sekolah itu seperti pelacur? Harus membayar mahal dulu baru bisa mendapatkannya. Dan dimana biaya operasional sebanyak 2 triliun rupiah yang katanya untuk pendidikan itu?
Percuma kalian punya Undang-Undang, telan saja dengan hasrat yang tak punya rasa kemanusiaan. Kami butuh buku, bukan butuh uang. Kami butuh pengajaran, bukan penghajaran atas hak kami. Buku-buku bata-bata. Bahasa indonesia, bahasa jari-jari baja. kata-kata sudah tak ada lagi maknanya. lidah-lidah kami dipenjara. Kalimat-kalimat kami disekap dalam ruang kedap suara. Kini kami beratapkan awan mendung. Dan kalian mengepulkan asap hitam masa depan kami, juga bangsa ini.

Selamat malam para lintah darat. Semoga kalian dikutuk tujuh turunan.

Wednesday, July 20, 2011

Sekaleng Getir

Apa lagi yang mau diceritakan? Sepetak ruang hampa di hatiku? Selembar kelam masa laluku? Sekaleng getir yang memabukkanku? Tuhan dan kalian juga tahu aku orang yang menyedihkan. Tidak perlu banjir air mata untuk membuktikan itu. Empati yang mengalir deras ke hulu sungai ku semakin membuatku yakin, aku sedang mengadakan perjamuan penuh belas kasihan.
Derita tentang rasa kehilangan selalu rasa sakit yang meyambar. Menyerang saraf kepala, mengorek nadi. Ah, bukankah ini istimewanya menjadi kenangan selalu mudah untuk diingat. Ya, inilah efek dari mengenangmu dengan fermentasi yang sempurna. Melalui pasteurisasi untuk menghilangkan kuman dan bakteri dihidupku. Kuman yg menjadikanku sampah dan bakteri yg menjadikanku terhina. Aku hanya punya harga diri yang tersimpan dalam botol dan kaleng. Aku menjaganya agar tidak menguap karena akan mengurangi rasa khas diriku.
Karena aku adalah sekaleng getir yang dapat menyembuhkan beberapa masalah kesehatan hatimu, namun bila tidak mempan, tidak apa-apa karena kamu boleh minum sepuasnya untuk melupakan permasalahan hatimu. Rasa getirku bisa dinikmati, rasanya sama dengan getir hidupmu, sayang.

Tuesday, July 19, 2011

Merayakan Sepi

Sudah aku rasakan hampa kamarku
Juga merasakan angin yang menjanjikan kedamaian di sela tembok
Dengan secangkir teh hangat aku menemui tenang
Bermodal pensil kayu dan selembar kertas aku mengundangmu
Di sini, di kamar ini sedang ada perayaan besar
Aku duduk bersama rindu dan kehilangan
Bercerita tentang sahabat lama yang kelam
Yang membawaku jauh ke dalam larutnya malam
Aku menikmatinya tanpa alunan nada
Kekosongan ruanganku punya daya magis
Menyelamatkan ku dengan dramatis
Dan aku terjebak pada akhir yang tragis
Di kamar ini, aku dan rindu sedang merayakan sepi

Wednesday, June 29, 2011

Dimana Nyamanku?

Entah siapa yang telah membudidayakan anak perempuan dipandang buruk pulang lebih dari jam 10 malam. Kamu yang telah menciptakan mitos ini percayalah aku sangat membencimu. Mitos paling tidak bermutu yang ku jumpai di hidupku, dan sialnya faktor lingkungan serta orang tua (bapak) menjunjung tinggi mitos yang tidak masuk akal ini. Tanpa ada kepercayaan seperti itu pun aku sadar diri. Menurutku juga kurang kerjaan seorang perempuan kelayapan hingga larut malam begitu (kecuali ada urusan). Selain bisa menurunkan kadar kesehatan tubuh, menikmati sendunya angin malam di dalam kamar bersama segelas teh hangat andalanku lebih bisa membangun inspirasi untuk sekedar menuang cerita di sini. Tapi, aku juga tidak mengelak untuk sesekali pulang lebih dari jam 10 malam. Anggap saja ini kenakalan remajaku yang sama sekali belum ada apa-apa dibanding kenakalan yang pernah kalian lakukan. Aku termasuk seorang anak perempuan yang masih patuh terhadap kerasnya peraturan rumah. Selain menjaga reputasi keluargaku di lingkungan rumah, aku juga menjaga hatiku dari perkataan tidak menyenangkan yang dilontarkan bapakku nantinya.
Sekali, dua kali aku pernah kena omelan kasar hingga memacu sisi gelap di diriku untuk membenci bapakku sendiri. Sifat protective yang berlebihan hingga berubah menjadi posesif membuatku tidak nyaman dengannya. Aku benar-benar kehilangan Tuhan di pikiranku ketika pikiran untuk membenci bapakku memenuhi kepalaku. Bagaimana bisa usia kepala dua masih saja dianggap seperti abege berseragam putih-biru tua. Aku kebingungan mencari akal bagaimana untuk meyakinkannya kalau aku ini sudah besar dan layak untuk dipercaya. Dan tiba-tiba saja aku ingin segera menentaskan perkuliahanku kemudian keluar dari zona aman yang terlalu nyaman ini.
aku suka dia memperhatikanku tapi tidak dengan caranya yang tidak mempercayaiku sampai sebegitunya. Tidakah kamu tahu aku bisa menjadi pembangkang kelas kakap kalau saja Tuhan benar-benar pergi dari pikiranku. Terimakasih Engkau tak pernah lelah untuk tinggal bersamaku, Tuhan.

Tuesday, June 14, 2011

Cerita Singkat dari Cerita singkat

Entah aku harus memulainya dari mana. Perasaan tak menentu yang 3 minggu belakangan ini berhasil sedikit mengacaukan sistem kerja otakku. Bukan sakit hati, bukan juga cerita yang membatku berbunga-bunga. Hubungan singkat dengan pria berusia 2 tahun lebih muda dariku menciptakan ruang berwarna dengan spektrum yang belum pernah ku jumpai sebelumnya. Kadang aku menyebutnya pelangi, kadang aku dibuat berada pada zona merah muda, dan tidak ketinggalan wilayah abu-abu lebih sering ku jumpai. Segala pribadi dia yang aneh dan belum penah ku jumpai pada orang lain, justru membuatku tertarik. Meski omongan buruk dan dipandang sebelah mata oleh orang lain yang sering mampir ke telingangku untuk sekedar memberi tahu. Tidak bisa dipungkiri lagi, aku memang tertarik dengan pribadi lugu tanpa ada sesuatu yang harus ditutupi dariku yang melekat padanya. Sekalipun aku tahu dia berpredikat bajingan kelas kakap di kotaku. Menurutku menghakimi seseorang dari masa lalu itu sungguh tidak adil. Karna aku tidak suka pukul rata, aku mencoba menghilangkan zona abu-abu dengannya dan melangkah menuju kepastian bersama. walau, Kami hanya sebentar menggombal tentang cinta, kira-kira tidak genap di minggu ke dua aku memutuskan untuk kembali menikmati segelas teh sendiri. Sejujurnya aku tak kuasa melihat air yang keluar dari matanya. Entah itu air mata kebohongan atau sungguhan yang keluar, tapi hatiku bergetar melihat air yang keluar dan hidung yang memerah efek dari sebuah tangisan. Aku hanya ingin menyelamatkan hatiku dari kesengsaraan yang pernah ku jumpai di waktu silam. Memang hanya singkat waktu, tapi aku bahagia ketika bisa berbagi headset menikmati alunan nada bersama. Seakaan kami itu 2 manusia yang disatukan, dengan telinga yang sama kami mendengar, dengan mata yang sama kami melihat dan dengan hati yang sama kami merasa. Tapi sekali lagi, aku terlalu pengecut untuk mengambil resiko, kebahagiaan yang ku dapatkankan darinya cukup menginspirasiku untuk menulis cerita tentang "kita" yang hanya beberapa saat. I already miss us :')

Monday, May 23, 2011

Senin Merah Muda

Ku buka kembali halaman buku, sambil sesekali menyiratkan segaris senyum aku perhatikan ke halaman pertama. Duduk sendiri. Kadang aku seperti patung. Terpaku membaca tulisan realistis yang pernah kutulis sebelumnya. Sampai tidak ingin aku peduli pada apa saja. Aku masih membacanya. Senyap menindih luka. Aku mengigil. Dalam lelah apa nilai atas sesuatu pada orang lain.
Kupikir aku dikutuk untuk sakit hati hingga ujung waktu. Tapi hari ini, hari Senin ku merah muda. Spektrum warna yang sudah lama tidak ku jumpai. Rasa lelah hari ini bukan alasan untuk tidur lebih awal. Rasanya ingin segera menuangkan cerita di dalam cerita secepatnya.
Tentang kedatanganmu yang tak terduga. Tentang kebersamaan kita, sesungguhnya sederhana. Apapun yang kamu rasakan dibagikan kepadaku, seolah kamu membuatku merasa aku lah perempuan yang bisa diandalkan. Bahkan saling menaut rasa. Benar-benar memasuki sebuah mimpi bagai sepasang kekasih (semoga ini bukan sandiwara). Wajahku memerah. Rasanya aku mulai jatuh cinta. Tapi aku perempuan yang belakangan ini tak suka membangun mimpi. Kubiarkan semua apa adanya. Bagai waktu, bagai air. Saat juga tiba-tiba menjadi kosong. Tak apa, biar saja. Tetap apa adanya., pun bisa menjadi harapan. Juga hujan yang mulai satu-satu, kubayangakan mengantarkanmu ke arahku untuk berbagi kehangatan.
Apakah ini benar ada pertemuan? Pada Senin ini aku banyak sekali bermimpi tentang kita. Aku dan kamu.

Saturday, May 14, 2011

Segelas Teh Hangat

petang ini senja tak menjingga
di beranda aku duduk berkumpul asa
berteman secangkir teh hangat
Teh hangat pahit kenyataan
denotatum kekosongan
kesunyian di luar kata
secangkir keheningan aku menghirupnya
Secangkir teh pahit hangat ku genggam
memparodikan sepinya malam menjemput salam
Lewat tetesan madu, terkaca bayanganmu tersenyum
Aku turut jua

Thursday, May 12, 2011

13 Tahun Melawan Lupa Mei 1998

Jalanan lengang tapi penuh dengan batu dan sampah. Gerbang kampus rusak, ada bangkai motor terbakar di jalanan. Pagi yang mencekam pada bulan Mei 1998. Republik digenangi hujan. Basah oleh air mata dan darah.
Saat itu dimana-mana ada polisi, ada sepatu, tameng, batu, bom asap berterbangan di atas kepala. Mahasiswa demo di jalan. Bentrok antara aparat dan mahasiswa pun tak bisa ditahan lagi. Hingga saat ini pun korban nyawa tidak bisa dipastikan ada berapa.
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan. Mereka adalah pembuat sejarah Peristiwa Trisakti yang begitu mengindonesia. Mereka tewas karena tertembak peluru aparat di dalam kampus Trisakti. Siapa yang lupa kejadian ini, apalagi kamu seorang atau mantan mahasiswa yang membaca tulisan ini.
Mei 1998 kita diadu domba dengan masalah rasis. Begitu banyak warga keturunan cina yang menjadi korban penculikan, pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan. Bisa membayangkan perempuan diperkosa berkali-kali sampai kehilangan nyawanya? Ketika bhineka tunggal ika berada pada titik terendah dalam sejarah nusa. Keturunan cina dibantai dimana-mana. Jadi tidak perlu heran peristiwa tersebut memberi dampak yang mendalam bagi warga etnis Tiong Hoa
Bahkan saat kerisuhan terjadi ada yang ikut masuk ke dalam gedung DPR, sampai di WC terdapat begitu banyak kondom bekas pakai. Mei 1998 harga kondom tak lebih mahal dari nyawa manusia. Dan nyawa manusia juga tidak lebih mahal dari nasi kucing. Berapa banyak yang harus mereka keluarkan untuk menggaji preman bayaran untuk mejalankan kerusuhan tersebut.
Harapan yang coba di bangun pada Mei 1998 dinista dan dihancurkan! Memecah Indonesia, membumihanguskan Timor – Leste setahun kemudian. Mei 1998 adalah jalan pintas menuju Indonesia keraguan. Setelah lepas dari kediktatoran yang biadap.

Saturday, April 16, 2011

Rumah Pada Musim Tak Bernama

Langit dan Bumi membentuk jarak. Malam dan siang bertemu di tanah batas, menukar warna. Biru, abu, putih dan hitam. Di beranda, melamun, asap, kabut, cahaya bulan, segelas teh hangat, mendoan kecap pedas dan sampah dapur.
Di bumi manusia bagai kisah: malam dan siang, gelap dan terang, hitam dan putih, lelaki dan perempuan kemudian tua dan muda.
Dan aku adalah perempuan muda yang menemukan rumah, lorong tanpa ujung. Sesuatu yang maharahasia. Hingga malam hari atau pagi mendatang setelah terjaga semalaman aku selalu menemukan sensasi hidup kembali di hari yang baru dari perjalanan yang luar biasa jauhnya. Tanpa batas. Lambat laun aku memberi namanya mimpi.
Sepanjang malam hari Selasa aku melamun. Hingga datanglah seorang kawan lama menawarkan kehidupan untukku. Aku bertemu dalam cinta semalam. Melihat bintang diam-diam muncul dari kaca jendela.
Pagi-pagi sekali kawanku itu pamit pulang. Semuanya sampai di situ saja. Ia pergi, entah kapan akan kembali. Entah kembali atau tidak akan pernah datang lagi. Aku tidak pernah tahu. Namun, bagiku aku harus menjalani hariku dengan penuh suka cita, seperti kandungan polifenol yang memebuatku kecanduan untuk terus menenggak teh hangat.
Tiba pada musim itu terlalu banyak peristiwa yang berlalu.
Banyak pelancong kepedihan yang datang. Mereka datang lengkap dengan kamera dengan lensa canggih yang juga mahal untuk mengabadikan penderitaanku.
Sepanjang malam udara kamar terasa panas. Aku melihat ibu tampak gelisah sambil sesekali memberikan lembaran tisu guna memetik air mataku. Namun, aku selalu berusaha menenangkan hatinya bahwa aku baik-baik saja, sembari terus meneliti jendela. Dan aku tertelan malam!
Dari jendela kamar aku melihat 2 sosok bayangan. Satu bayangan lelaki basah keringat dan perempuan berwajah pucat. Tidak salah lagi! Itu Wisnu, kawan yang membuatku jatuh cinta dan setia menunggu ia pulang menemuiku. Tapi, siapakah perempuan berwajah pucat dengan muka seperti gadis masih SMA.
Wisnu memang datang menepati janjinya. Ia datang lengkap dengan perempuannya. Perempuannya? Iya perempuan berwajah pucat dengan muka lebih cocok menjadi adiknya itu adalah perempuannya. Hampir 5 bulan dari bulan Oktober lalu aku menunggu ia pulang. Kali ini ia pulang memperkenalkan pacar barunya.
Aku menatap bayang-bayang pohon yang tiga kali lipat lebih besar dari badanku. Aku berteduh dalam bayang-bayang itu. Rumah itu! Ya. Seolah aku menemukan rumah baru. Aku menyerahkan tubuhku yang mulai terasa lelah. Sebelum tertidur aku bergumam, “biarkan aku menemukan rumahku sendiri. Selamat jalan cintaku, pergilah.”
Aku tahu di ujung harinya dia masih menungguku, tapi aku lebih memilih jalan lain. Perjalanan yang mungkin masih jauh. Sejauh masa lalu yang pelan-pelan pasti menguburku. Aku pergi dari masa laluku, menuju rumah pada musim lain; musim bunga. Karena aku perempuan.

Friday, April 15, 2011

Kematian yang Sexy

Bagi pelaku bom bunuh diri ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannya sendiri. hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa harus tergesa-gesa. Ia menyisir rambutnya, mengoles minyak rambut agar terlihat klimis. mencukur kumis nya dan memakai kopyah putih sebagai penutup kepala. Tampak berbeda di hari Jumat ini. Sarungnya pun baru, sedikit deodoran dioleskan pada ketiaknya. Dengan pelan ia menggosok pangkal deodoran itu. Tujuannya cuma satu, ia tak ingin wangi yang berlebihan. Ini akan menjadi kematian yang menggembirakan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung bisa menikmati sisa hidupnya seperti ini. Tak perlu repot-repot mempersiapkan tali dan menggantung diri. Tak perlu berdiri diatas rel saat penguasa rel itu melaju dengan ganasnya. Tak perlu menabrakan dirinya pada mobil mewah yang berlalu-lalang di atas aspal. Dan ia tak perlu dokter ahli forensik untuk memeriksa mayatnya setelah ia mati nanti. Ia tak perlu mati lantaran usia tua atau penyakit kritis yang menyiksa bertahun-tahun lamanya.
Tinggal menyiapkan bom yang sudah dirakit jauh-jauh hari dan meledakannya di tempat ibadah yang penuh umat. Kemudian membiarkan maut bersejingkat mendekatinya perlahan.
Tepat akan dilaksanakan ibadah sholat Jumat, bom itu meledak dengan sadisnya. Baginya ledakan bom itu adalah jalan menuju surga. Atas dasar menuhankan atasannya ia percaya akan diterima di surga. Surga baginya Neraka bagi kita. Tapi menurutnya, kematian seperti ini adalah kematian ter-sexy yang bisa dirancang sendiri dan melambungkan namanya.
Ingin sekali kutanyakan padanya. Atas dasar apa kematian seperti itu mendapatkan surga.

Wednesday, April 6, 2011

Kotak Kebahagiaan

Hujan tak kunjung reda. Aroma tanah yang menghibur indra penciumanku lambat laun mulai menghilang, menguap ke udara. Selokan samping rumah kini berubah menjadi kolam renang mini dadakan. Seiring tetes air yang datang keroyokan, aku hanya diam melihat keluar melalui celah jendela.

Pagi ini basah. Batarasurya, sepertinya hari ini lebih memilih untuk bersembunyi. Langit yang sendu membirukan ruanganku. Ayam-ayam menggeliat bosan dalam kandangnya terkurung etalase sepetak triplek sepanjang rumah ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu pelanggan dan sentuhan. Pedagang bubur ayam tersenyum sengit karena buburnya hari ini laku sedikit. Bahkan aku bisa melihat tawanya yang ungu kebiruan memuai di udara. Dan aku, tetap terjaga dengan situasi seperti ini. Cara hujan pagi ini membuatku terlalu kesepian.

Aku mengularkan kotak kebahagiaanku. Dengan setengah terburu aku segera membukanya, ternyata kosong. Tak kudapatkan selembar senyum di dalamnya apalagi setetes keramaian. Aku melihat kotak ini dengan mata yang tidak dimiliki orang lain. Aku bisa melihat berlembar-lembar senyum dan kepalan cahaya biasanya. Tapi, kali ini gelap! Yang ada hanya setangkai sunyi yang tumbuh dengan anggun dan indah di dalam sana. Kali ini aku lebih mirip seperti penyemai sunyi.

Sudah saatnya aku mengisi ulang kotakku ini. Sepekan terakhir aku menggunakan isinya hingga tak bersisa. Ternyata menggunakan berlembar-lembar senyum hingga berubah menjadi tawa itu tidak baik bagi tubuhku. Buktinya di saat aku butuh obat kesepian aku kehabisan stok senyuman. Rasanya seperti sia-sia untuk dipertahankan ketika kusaksikan lembaran senyuman itu berubah menjadi setangkai sunyi.

Memutar otak dimana aku bisa mengisi ulang kotak kebahagianku yang mulai jamuran ini. Di sela-sela tetesan air yang mereda, sepertinya sang empunya siang kembali bekerja. Di ujung barat di antara perbukitan yang baris dengan indahnya aku melihat paduan warna-warna yang paling rahasia buatku menganga dan yakin. Pelangi, tampak begitu indah dengan spektrum warnanya. Bahkan kotak ku mulai berisi lembaran kebutuhan kebahagiaan yang kembali memenuhi kotak ini.

Monday, April 4, 2011

Kau Pergi Hari Itu

Februari merah muda, kubayangkan bulan penuh gula. Aku menambang rindu yang tak berwarna. Tak ada, bening. Seperti sore 2 pekan belakang ini tak ada yang harus kukagumi. Tak ada orange yang menjinggakan senja, yang ada hanya pucat yang bisa kuajak berbagi kegugupan dan berbagi cemas.
Tertegun. Tidak ada apa-apa. Remang. Sore yang sama seperti kemarin aku terjaga. Angin semilir menyibakkan rambutku. Aku memejamkan mata sesaat. Kembali membuka dan mendapati orang yang kutunggu duduk di depanku.
"Sayang! darimana saja? aku sudah menunggumu dari setengah lima tadi" Ya, aku memang duduk di bangku taman ini sedari setengah jam yang lalu, bersama sepi yang setia menemaniku.
"A.. ehmmm, tadi jalanan padat kendaraan, aku tak bisa mencari celah sedikitpun untuk melaju lebih dari 20km/jam" Logatnya sedikit berbeda, sedikit aneh. Tapi aku masih mewajarkannya. Nafasnya pun tersengal-sengal.
15 menit berlalu, kami membisu. Dingin, sedingin udara taman sore ini. 30 menit berlalu bibirku masih sulit untuk menyampaikan berbagai luapan kerinduan yang aku tambang tadi pagi. Hanya dikalahkan oleh hawa dingin dari seorang lelaki yang yang biasanya membawa kehangatan tiap kali aku melihat sorot matanya.
Sore ini tidak ada kontak mata selama 30 menit dia datang untuk menemuiku setelah 2 pekan tak bertemu.
"Aku ingin menyampaikan sesuatu untukmu" Suaranya memecah kesunyian petang. Aku menoleh dan memandang mata terindah yang pernah aku lihat. Mata yang membuatku jatuh cinta sekaligus jatuh dan terluka.
"Aku tidak mau lagi melihatmu menderita karena menungguku. Aku tidak mau lagi melihatmu menanggung rindu padaku. Dan yang paling penting, aku tak mau melihatmu sakit karenaku" Aku memandang pasrah wajahnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun, apalagi sebuah protes yang sudah seharusnya aku lontarkan padanya.
"Aku akan pergi, pergi ke suatu negara yang tidak pernah ada di dunia. Tak perlu mencariku. Tak usah mengkhawatirkanku. Aku bahagia selama kau tetap mengenangku tanpa harus merindukanku" Dia mengecup dahiku. Yang mungkin menjadi kecupan terakhir untukku. Dia bergegas memakai jaket tebal ala orang eskimo, menutup rapat helm dan menyalakan motor merah marun kemudian bergegas meninggalkanku.
Mataku tak bisa lepas dari punggung lelaki yang melaju kencang dengan motor berwarna merah marun itu.
Pada jarum jam yang terus melaju di atas angka-angka telah berjam-jam aku duduk di bangku taman Kuteliti mungkin aku sedang bermimpi, mimpi buruk yang menimpaku hari ini. Berulang kali aku memastikan aku mendapati bahwa ini sebuah kenyataan. Aku mendesah pelan dan kudapati bahwa memang kau telah pergi hari itu.
Sekarang, aku lebih memilih mengalir saja, bagai waktu, bagai angin, bagai air. Memang aku tidak suka membangun mimpi. Aku perempuan yang menyerah. Sampailah di sini Februari merah muda. Tanpamu. Memang terasa lain. Tak mengapa

Saturday, April 2, 2011

Cerita yang Menetes dari Lilin Angka 20


Kemarin tanggal 1 di bulan 4, aku terlahir kembali ke dunia yang tidak pasti ini. Mendesis pelan dan muncul di keramaian Kampus Kemarau. Kusaksikan senja yang tidak jingga sore itu. Tak ada matahari di ujung barat dan langit basah. Sayup ku dengar gemercik air yang menetes dari atap Kampus yang tidak hijau, seperti rintihan kesepian. Bising suara bola pingpong lalu-lalang di lobi terbawah. Beberapa orang terpaku di dalam ruangan. Aku benar-benar sedang melihat pengungsian di kampusku. Kampus ini dimana beberapa bulan lampau, dalam kehidupan baruku, aku begitu mencintainya.
Di bawanya aku ke kantin dadakan. Kantin seadanya yang mampu memberi pasokan perut kami yang meronta kelaparan. Dengan maksut ingin membeli segelas teh hangat, aku berjalan paling belakang diantara rombongan. Mendorong pintu dan melihat teman-temanku membawa tart mini di atasnya ada lilin angka 20 menyala dengan berani. Seiring dengan tetesan lilin yang membuat angka 2 berubah wujud, aku menyapaikan sejuta harapan. Harapan yang berani seberani api yang melelehkan lilin-lilin di atas tart mini itu.
Kampus kemarau dan kantin dadakan di dalamnya menjadi saksi bisu kepala dua ku. Dan tart mini paling manis sepanjang 20 tahun perjalanan hidupku adalah hadiah terindah yang terkumpul dari jutaan perhatian teman-teman terbaikku. Begitu indahnya awal tahun ku. Tahun dengan angka 2 yang menjadi awal perjalanan besarku. Terima kasih, perhatian kalian adalah segalanya bagiku

Friday, April 1, 2011

Taman Bunga Dalam Rumah ku

Ia melepasku dengan wajah hampir tenggelam dalam senja yang kelam. Kuyakinkan padanya untuk jangan berharap aku akan kembali. Begitulah, ia mungkin saja masih membayangkanku di taman bunga pada pagi lembap. Seperti juga aku selalu membayangkannya sebagai kumbang yang mengagahi bunga. Seseorang yang membuatku percaya tentang mimpi. Tentang segala sesuatu yang ajaib. Ia membawaku menyelami kehidupan, terus mengalir. Terus tersenyum. Sebab, hari masih terlalu balita untuk menangisi keadaan.

Di sini, hujan turun sejak pagi. Februari basah pada musim yang tak lagi bernama. Terkadang membagikan cahaya yang berlimpah dan belakangan ini membawa air yang memenuhi selokan samping rumah. hujan hari ini membuat jendela kaca berembun bentuk titik-titik kecil, mengalir pelan, meinggalkan jejak basah. Kubuka gorden, dan pucat! Terlalu pucat aku melihat!

Aku gemetar, karena aku takut terluka, aku tak ingin hilang.

Aku menangkap sesuatu yang tiba-tiba hening. begitu dekat. Aku tertidur. Entah, mungkin tidak tidur tapi seperti tertidur.

Hening. Suara bunga-bunga menaungi telingaku.

Aku mungkin pula menjadi kupu-kupu, menangiskan sekuntum mawar yang hilang dari masa silam. Kupu-kupu yang suatu kelak akan pergi ke negeri tak terbayangkan. Tapi, tahukah ia, taman bunga dalam rumahku sedang tumbuh dengan indahnya.

Benar, aku merindukan kedatangan kumbang baru di tamanku.